Tumpahan Minyak di Laut

By Agus Nurul K - 2:37 AM

LAPORAN
PRAKTIKUM PENCEMARAN LAUT
LAPORAN
PRAKTIKUM PENCEMARAN LAUT

OLEH
AGUS NURUL KOMARUDIN
K2D 008 005


JURUSAN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2010

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang masalah
Jutaan tahun lampau sebelum manusia memiliki kemampuan memanfaatkan minyak bumi, pencemaran minyak di lautan sebetulnya telah terjadi. Material mengandung minyak yang memasuki lautan berasal dari pembusukan tumbuhan dan hewan secara alami dan melalui presipitasi hidrokarbon dari atmosfer. Hanya saja sebagian besar pencemar akan di biodegradasi (diuraikan) oleh organisme secara alami (meskipun dalam jangka waktu lama) sehingga dampak buruk terhadap lingkungan menjadi sangat kecil.
Kini, tumpahan minyak diakibatkan oleh kegiatan penambangan lepas pantai, kebocoran dan kecelakaan kapal tanker, kebocoran saluran pipa minyak, dan lainnya, telah menimbulkan kerusakan yang hebat pada tingkat lokal baik bagi tumbuhan, hewan ataupun pada manusia (secara tidak langsung). tumpahnya minyak di lautan yang di sebabkan oleh beberapa factor seperti tenggelamnya kapal tanker atau kecelakaan dan kebocoran tanki kapal dan kilang minyak.di mana hal tersebut akan sangat mengganggu kehidupan organisme di laut di mana penyebaran minyak di lautan akan mengalami beberapa proses seperti penyebaran yang di sebabkan oleh angin dan arus.
1.2. Tujuan praktikum
- mahasiswa dapat mengoprasikan software sehingga dapat membantu dalam upaya penanggulangan tumpahan minya di samudra
- Mahasiswa dapat mengetahui luasan area yang tertutup oleh tumpahan minyak
- Mahasiswa dapat membuat simulasi ke arah mana minyak tersebut akan meyebar dan waktu yang di butuhkan oleh minyak untuk sampai area yang dituju.




















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pencemaran Laut
2.1.1 Definisi Pencemaran Laut
Pencemaran laut (perairan pesisir) didefinisikan sebagai “dampak negatif” (pengaruh yang membahayakan) terhadap kehidupan biota, sumberdaya dan kenyamanan (amenities) ekosoistem laut serta kesehatan manusia dan nilai guna lainnya dari ekosistem laut yang disebabkan secara langsung maupun tidak langsung oleh pembuangan bahan-bahan atau limbah (termasuk energi) ke dalam laut yang berasal dari kegiatan manusia (GESAMP,1986).
Menurut Soegiarto (1978), pencemaran laut adalah perubahan laut yang tidak menguntungkan (merugikan) yang diakibatkan oleh benda-benda asing sebagai akibat perbuatan manusia berupa sisa-sisa industri, sampah kota, minyak bumi, sisa-sisa biosida, air panas dan sebagainya. Terdapat banyak tipe pencemaran yang sangat penting sehubungan dengan lingkungan kelautan, beberapa diantaranya adalah:
1. Perubahan kuala, teluk, telaga, pantai serta habitat-habitat pantai karena pencemaran darat, pengerukan, pengurugan, dan pembangunan.
2. Penyebaran pestisida dan bahan-bahan kimia lain yang tahan lama
3. Pencemaran oleh minyak
4. Penularan-penularan bahan-bahan radioaktif di seluruh dunia
5. Pencemaran oleh panas
Pengertian pencemaran (pollution) hendaknya lebih dahulu didekati secara ilmiah. Hal ini penting karena atas dasar pendekatan ilmiahlah kemudian dapat ditrapkan rumusan-rumusan/kriteria yang dipergunakan untuk berbagai kepentingan.

2.1.2. sumber pencemaran laut
Pencemaran minyak

Tumpahan minyak diakibatkan oleh kegiatan penambangan lepas pantai, kebocoran dan kecelakaan kapal tanker, kebocoran saluran pipa minyak, dan lainnya, telah menimbulkan kerusakan yang hebat pada tingkat lokal baik bagi tumbuhan, hewan ataupun pada manusia (secara tidak langsung). tumpahnya minyak di lautan yang di sebabkan oleh beberapa factor seperti tenggelamnya kapal tanker atau kecelakaan dan kebocoran tanki kapal dan kilang minyak
Pencemaran minyak mempunyai pengaruh luas terhadap hewan dan tumbuh-tumbuhan yang hidup disuatu daerah. Minyak yang mengapung berbahaya bagi kehidupan burung laut yang suka berenang diatas permukaan air.Tubuh burung akan tertutup minyak. Untuk membersihkannya, mereka menjilatinya. Akibatnya mereka banyak minum minyak dan mencemari diri sendiri. Selain itu, mangrove dan daerah air payau juga rusak. Mikroorganisme yang terkena pencemaran akan segera menghancurkan ikatan organik minyak, sehingga banyak daerah pantai yang terkena ceceran minyak secara berat telah bersih kembali hanya dalam waktu 1 atau 2 tahun.
Tabel 1. Beberapa Kasus Tumpahan Minyak di Perairan Indonesia
No Tahun Lokasi Keterangan
1 1975 Selat Malaka Kandasnya kapal tanker Showa Maru yang menumpahkan minyak sebesar 1 juta barel minyak solar
2 Januari 1975 Selat Malaka tabrakan kapal Isugawa Maru dengan Silver Palace
3 Desember 1979 Pelabuhan Buleleng Bali Kecelakaan kapal tanker Choya Maru pada Desember menumpahkan 300 ton bensin.
4 Pebruari 1979 Pelabuhan Lhokseumawe Bocornya kapal tanker Golden Win yang mengangkut 1500 kilo liter minyak tanah
5 33848 Selat malaka Tabrakan kapal tanker Ocean Blessing dan MT Nagasaki Spirit yang menumpahkan 13000 ton minyak
6 Januari 1993 Selat Malaka Kandasnya Kapal Tanker Maersk Navigator


1.1.3. Penanggulangan
Beberapa teknik penanggulangan tumpahan minyak diantaranya in-situ burning, penyisihan secara mekanis, bioremediasi, penggunaan sorbent dan penggunaan bahan kimia dispersan. Setiap teknik ini memiliki laju penyisihan minyak berbeda dan hanya efektif pada kondisi tertentu.
In-situ burning adalah pembakaran minyak pada permukaan air sehingga mampu mengatasi kesulitan pemompaan minyak dari permukaan laut, penyimpanan dan pewadahan minyak serta air laut yang terasosiasi, yang dijumpai dalam teknik penyisihan secara fisik. Cara ini membutuhkan ketersediaan booms (pembatas untuk mencegah penyebaran minyak) atau barrier yang tahan api.
Beberapa kendala dari cara ini adalah pada peristiwa tumpahan besar yang memunculkan kesulitan untuk mengumpulkan minyak dan mempertahankan pada ketebalan yang cukup untuk dibakar serta evaporasi pada komponen minyak yang mudah terbakar. Sisi lain, residu pembakara yang tenggelam di dasar laut akan memberikan efek buruk bagi ekologi. Juga, kemungkinan penyebaran api yang tidak terkontrol.
Cara kedua yaitu penyisihan minyak secara mekanis melalui dua tahap yaitu melokalisir tumpahan dengan menggunakan booms dan melakukan pemindahan minyak ke dalam wadah dengan menggunakan peralatan mekanis yang disebut skimmer.
Upaya ini terhitung sulit dan mahal meskipun disebut sebagai pemecahan ideal terutama untuk mereduksi minyak pada area sensitif, seperti pantai dan daerah yang sulit dibersihkan dan pada jam-jam awal tumpahan. Sayangnya, keberadaan angin, aur dan gelombang mengakibatkan cara ini menemui banyak kendala.
Cara ketiga adalah bioremediasi yaitu mempercepat proses yang terjadi secara alami, misalkan dengan menambahkan nutrien, sehingga terjadi konversi sejumlah komponen menjadi produk yang kurang berbahaya seperti CO2 , air dan biomass. Selain memiliki dampak lingkunga kecil, cara ini bisa mengurangi dampak tumpahan secara signifikan. Sayangnya, cara ini hanya bisa diterapkan pada pantai jenis tertentu, seperti pantai berpasir dan berkerikil, dan tidak efektif untuk diterapkan di lautan.
Cara keempat dengan menggunakan sorbent yang bisa menyisihkan minyak melalui mekanisme adsorpsi (penempelan minyak pad permukaan sorbent) dan absorpsi (penyerapan minyak ke dalam sorbent). Sorbent ini berfungsi mengubah fasa minyak dari cair menjadi padat sehingga mudah dikumpulkan dan disisihkan.
Sorbent harus memiliki karakteristik hidrofobik,oleofobik dan mudah disebarkan di permukaan minyak, diambil kembali dan digunakan ulang. Ada 3 jenis sorbent yaitu organik alami (kapas, jerami, rumput kering, serbuk gergaji), anorganik alami (lempung, vermiculite, pasir) dan sintetis (busa poliuretan, polietilen, polipropilen dan serat nilon)
Cara kelima dengan menggunakan dispersan kimiawi yaitu dengan memecah lapisan minyak menjadi tetesan kecil (droplet) sehingga mengurangi kemungkinan terperangkapnya hewan ke dalam tumpahan. Dispersan kimiawi adalah bahan kimia dengan zat aktif yang disebut surfaktan (berasal dari kata : surfactants = surface-active agents atau zat aktif permukaan) (lebih jauh lihat : Dispersan Kimiawi, Salah Satu Solusi pencemaran minyak di Laut ).
• Penanganan secara fisika, adalah perlakuan pertama dengan cara melokalisasi tumpahan minyak menggunakan pelampung pembatas (oil booms), yang kemudian akan ditransfer dengan perangkat pemompa (oil skimmers) ke sebuah fasilitas penerima "reservoar" baik dalam bentuk tangki ataupun balon. Salah satu kelemahan dari metoda adalah hanya dapat dipakai secara efektif di perairan yang memiliki hidrodinamika air yang rendah (arus, pasang-surut, ombak, dll) dan cuaca yang tidak ekstrem.
• Penanganan secara kimia, awalnya penggunaan metode ini kurang dikehendaki, aplikasinya untuk menangani tumpahan minyak Torrey Canyon di perairan Inggris tahun 1967 dianggap menimbulkan kerusakan lingkungan terutama dikarenakan dispersan, nama agen kimia yang digunakan untuk penanganan tumpahan minyak, maupun produk yang terbentuk dari pencampuran minyak dan dispersan, bersifat racun yang lebih berbahaya dari minyak mentah yang tersebar di perairan itu sendiri.
Cara lain yang digunakan adalah pembakaran yang dari sudut pandang ekologis hanya memindahkan masalah pencemaran ke udara.

 Bonn Agreement
Adalah suatu perjanjian yang dibuat di Kota Bonn, dimana didalam perjanjian ini dituliskan bagaimana cara – cara / antisipasi terhadap pencemaran yang terjadi pada suatu wilayah.dan di jelaskan pula pengklasifikasian minyak seperti sheen,rainbow
 Responder tool kit
Adalah sebuah software yang dimanfaatkan untuk mengetahui penghitungan area dan komposisi tumpahan minyak, serta juga untuk mengetahui penyebaran minyak yang tertumpah di suatu perairan. Sehingga dengan menggunakan metode Responder tool kit kita dapat memprediksi dimana pergerakan, area tumpahan, dan arah yang diperkirakan minyak tersebut mencemari perairan, sehingga manusia dapat melakukan berbagai tidakan antisipatif dalam menanggulanginya.
 Boom
Boom adalah suatu alat yang digunakan untuk melokalisir suatu perairan dari tumpahan minyak, dalam kata lain tumpahan minyak dapat kita kunci pergerakannya, sehingga tidak tersebar lebih lebar kembali. Metode ini sangat efektif untuk menghindari area yang tercemar oleh minyak lebih banyak lagi.

 Spill Response activities
Adalah metode yang digunakan dalam mengetahui respon dari tumpahan minyak tersebut bila telah tumpah dan mengkontaminasi suatu perairan. Sehingga prediksi-prediksi akan bermunculan untuk menganalisa berbagai kemungkinan yng terjadi.








BAB III
METODE PENELITIAN
.
1. Arah pergerakan tumpahan minyak pada 3210 sekitar northwest/nw
2. Kecepatan tumpahan minyak adalah 2,2 knots atau sama dengan 1,1 m/s
3. Maka dalam waktu 1 jam tumpahan minyak akan berada pada lokasi latitude 8021’.86”N dan longitude 115001’58
,
1. Arah pergerakan tumpahan minyak pada 00 sekitar north/n
2. Kecepatan tumpahan minyak adalah 3,4 knots atau sama dengan 1,8 m/s
3. Maka dalam waktu 1 jam tumpahan minyak akan berada pada lokasi latitude 8023’.75”N dan longitude 115000’15”




1. Arah pergerakan tumpahan minyak pada 3210 sekitar northwest/nw
2. Kecepatan tumpahan minyak adalah 2,2 knots atau sama dengan 1,1 m/s
3. Maka dalam waktu 1 jam tumpahan minyak akan berada pada lokasi latitude 8021’.86”N dan longitude 115001’58”

1. Arah pergerakan tumpahan minyak pada 60 sekitar north/n
2. Kecepatan tumpahan minyak adalah 2,1 knots atau sama dengan 1,1 m/s
3 Maka dalam waktu 1 jam tumpahan minyak akan berada pada lokasi latitude 8022’.26”N dan longitude 114059’94”


1. Berdasarkan data dari gambar di atas diketahui bahwa total area adalah 6.36 km2 sedangkan area yang tertutup oleh minyak sebesar 5.34 km2 dan area yang bersih dari minyak hanya 1.02 km2
2. Dari luas tutupan minyak sebesar 84% dan area yang bersih dari minyak hanya 16%
3. Berdasarkan penggolongan tipe minyak maka penutupan sheen 58%,rainbow 8%,black/brown 10% , brown/orange 8% dan custum 0%








1. Luas tutupan minyak sebesar 572476.04 liters/572.48 m3
2. Berdasarkan data dari gambar di atas diketahui bahwa total area adalah 6.36 km2 sedangkan area yang tertutup oleh minyak sebesar 5.34 km2 dan area yang bersih dari minyak hanya 1.02 km2











Lapiran

JUDUL JURNAL :
“DAMPAK PENCEMARAN LOGAM BERAT TERHADAP KUALITAS AIR LAUT DAN SUMBERDAYA PERIKANAN (STUDI KASUS KEMATIAN MASSAL IKAN-IKAN DI TELUK JAKARTA)”

DISUSUN OLEH :
Lestari dan Edward
Kelompok Penelitian Pencemaran Laut, Balai Dinamika Laut, Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta 14430, Indonesia

Abstrak
Pengamatan kadar logam berat dalam air laut di Teluk Jakarta telah dilakukan pada bulan Mei 2004. Logam berat yang diteliti adalah Hg, Pb, Cd, Cu, dan Ni. Pengamatan ini ada kaitannya dengan kematian massal ikan-ikan yang terjadi di Teluk Jakarta. Pengamatan ini dilakuan di pantai Ancol 1 (3 stasiun), muara Sungai Dadap (4 Stasiun), pantai Ancol 2 (4 stasiun) dan Cilincing (3 stasiun). Hasilnya menunjukkan kadar Hg, Cd dan Cu rerata di pantai Ancol 1 berturut-turut adalah <0.001 ppm, Pb 0.001 ppm, Zn 0.004 ppm, dan Ni 0.001 ppm. Di pantai Ancol 2 kadar Hg, Cd, dan Zn rerata berturut-turut adalah <0.001 ppm, Pb 0.002 ppm, dan Cu 0.001 ppm dan Ni 0.0017 ppm. Di Cilincing kadar Hg, Cd, dan Zn rerata adalah <0.001ppm, Pb dan Cu masing-masing 0.002 ppm, dan Ni 0.0045 ppm Di muara Sungai Dadap kadar Hg dan Cd masing-masing adalah 0.001 ppm, Pb dan Zn masing-masing adalah 0.0027 ppm, Cu 0.001 ppm, dan Ni 0.0012 ppm. Di pantai Ancol 3 kadar Hg rerata adalah 0.021 ppm, Pb 0.55 ppm dan Cd 0.1 ppm. Kadar keenam logam berat tersebut di pantai Ancol 1, 2, Cilincing, dan muara Sungai Dadap relatif lebih rendah dibandingkan dengan NAB yang ditetapkan oleh Kantor MNLH (2004) untuk biota laut yakni 0.001 ppm untuk Hg dan Cd, 0.008 ppm untuk Pb dan Cu, dan 0.05 ppm untuk Zn dan Ni, sedangkan di pantai Ancol 3 kadar Hg, Pb, dan Cd lebih tinggi dibandingkandengan NAB tersebut. Dengan demikian kadar Hg, Pb, Cd, Cu, Zn, dan Ni di perairan pantai Ancol 1, 2, Cilincing dan muara Sungai Dadap belum berbahaya bagi kehidupan ikan-ikan di Teluk Jakarta, sedangkan di perairan Ancol 3 kadar Hg, Pb, dan Cd sudah berbahaya bagi kehidupan biota laut. Namun demikian kematian massal ikan-ikan di perairan ini bukan disebabkan oleh logam berat tersebut, akan tetapi oleh faktor lain yang salah satunya adalah ledakan mendadak fitoplankton beracun yang mengeluarkan toksin dimana air laut menjadi berwarna merah dan kejadian ini dikenal dengan pasang merah (red tide). 1. Pendahuluan Perkembangan industri di daerah DKI dan sekitarnya dewasa cukup pesat. Peningkatan jumlah industri ini akan selalu diikuti oleh pertambahan jumlah limbah, baik berupa limbah padat, cair maupun gas. Limbah tersebut mengandung bahan kimia yang beracun dan berbahaya (B3) dan masuk ke Teluk Jakarta melalui 13 DAS yang bermuara ke perairan ini. Pada saat ini terdapat sekitar lima juta jenis bahan kimia yang telah diidentifikasi dan dikenal, 60.000 jenis diantaranya sudah dipergunakan dan ribuan jenis lagi bahan kimia baru setiap tahun diperdagangkan secara bebas. Salah satu dari limbah B3 tersebut adalah logam berat. Kehadiran logam berat tetap mengkhawatirkan, terutama yang bersumber dari pabrik/industri, di mana logam berat banyak digunakan sebagai bahan baku maupun sebagai bahan penolong. Sifat beracun dan berbahaya dari logam berat ditunjukan oleh sifat fisik dan kimia bahan baik dari segi kuantitas maupun kuantitasnya. Masuknya limbah ini ke perairan laut telah menimbulkan pencemaran terhadap perairan. Diperkirakan dalam sehari lebih dari 7.000 m3 limbah cair termasuk diantaranya yang mengandung logam berat yang dibuang melalui empat sungai yang melintasi wilayah Tangerang. Keempat sungai itu adalah Sungai Cisadane, Cimanceri, Cirarab dan Kali Sabi. Sungai-sungai tersebut bermuara ke Teluk Jakarta, sehingga dapat meningkatkan kadar logam berat dalam air laut. Menurut [1] Teluk Jakarta merupakan teluk yang paling tercemar di Asia akibat limbah industri dan rumah tangga. Pencemaran logam berat di perairan Teluk Jakarta pertama kali ditemukan oleh S. Yatim dkk. [2]. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kadar logam berat dalam air di Teluk Jakarta sudah tergolong tinggi, bahkan di beberapa lokasi seperti muara Angke kadar logam beratnya cenderung meningkat. Hasil penelitian [3] dan [4] di perairan muara Angke menunjukkan bahwa air laut , udang, kerang-kerangan dan beberapa jenis ikan yang hidup di muara Angke telah tercemar oleh merkuri (Hg), Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd). Selanjutnya disebutkan bahwa sumber bahan cemaran tersebut berasal dari kegiatan di darat, khususnya industri yang membuang limbahnya ke Kali Angke. Selanjutnya hasil penelitian [5] menunjukkan bahwa kandungan logam berat di Barat Teluk Jakarta lebih tinggi dibandingkan di bagian Timur Teluk. Hasil ini menunjukkan bahwa sungai–sungai yang bermuara di bagian Barat Teluk lebih banyak mengandung logam berat dibandingkan dengan sungai-sungai yang bermuara di bagian Timur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar dan sebaran logam berat di perairan Teluk Jakarta dalam kaitannya dengan kematian massal ikan-ikan yang terjadi pada bulan Mei 2004. Hasilnya diharapkan dapat memberikan masukan kepada Pemda DKI, LSM, pihak Industri dan masyarakat dalam mengelola kegiatan industri-industri yang ada di Jabotabek yang berwawasan lingkungan serta menerbitkan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat. 2. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan Teluk Jakarta pada bulan Mei 2004. Di perairan Teluk Jakarta ditetapkan empat lokasi penelitian yakni pantai Ancol 1 (3 stasiun), pantai Ancol 2 (3 stasiun), Cilincing (4 stasiun), muara Sungai Dadap (4 stasiun), dan pantai Ancol 3 (3 stasiun). Posisi stasiun penelitian ditetapkan secara purposive sesuai dengan tujuan penelitian. Pengambilan contoh air laut diambil dengan menggunakan Water Sampler yang volumenya lebih dari 5 liter, selanjutnya dimasukkan ke dalam botol polietylen yang volumenya lebih kurang 1 liter, kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring yang pori-porinya 0,45 􀁭m. Di laboratorium air yang sudah disaring ini kemudian diawetkan dengan HNO3 pekat, dan diekstraksi dengan menggunakan bahan pengompleks APDC, NaDDC dan MIBK. Selanjutnya diekstraksi lagi ke fase air dengan HNO3 pekat. Kadar logam berat Hg, Pb, Cd, Cu, Zn, dan Ni diukur dengan menggunakan alat AAS Type Varian [6]. 3. Hasil dan Pembahasan Hasil pengukuran kadar logam berat Hg, Pb, Cd, Cu, Zn dan Ni di perairan Teluk Jakarta disajikan pada Tabel 1. Hg Dari Tabel 1 dapat dilihat kadar Hg rerata di semua lokasi penelitian adalah <0.001 ppm. Kadar ini relatif rendah dan belum berbahaya bagi biota perairan terutama ikan. NAB Hg adalah 0.001 ppm untuk biota laut [7]. Namun bila dilihat dari hasil penelitian BPLHD terlihat kadar Hg relatif lebih tinggi dari NAB tersebut. BPLHD [1] mendapatkan kadar Hg sebesar 0.003-0.056 ppm di perairan Ancol yakni di belakang restauran MacDonald’s, PLTU dan Monumen Laguna. Keadaan ini dapat berakibat fatal bagi biota laut khususnya ikan. Dari Tabel 1 juga terlihat adanya perbedaan hasil penelitian yang dilakukan oleh P2O-LIPI dengan BPLHD. Perbedaan ini disebabkan karena letak stasiun pengambilan contoh berbeda. Bila dilihat dari hasil penelitian ini maka kualitas perairan ini termasuk kelas A, kategori sangat baik dengan nilai = 0 (memenuhi Baku Mutu), namun bila mengacu pada hasil penelitian BPLHD maka kualitas perairan ini termasuk kelas B, kategori baik dengan nilai = -2 (tercemar ringan) [7]. Tabel 1. Kadar Logam Berat Hg, Pb, Cd, Cu, Zn dan Ni di Perairan Teluk Jakarta, Mei 2004, ppm St Pantai Ancol 1 Pb (Timah Hitam) Dari tabel tersebut dapat dilihat kadar Pb rerata di semua lokasi penelitian berkisar antara 0.001-0.0027 ppm atau 1-2.7 ppb. Kadar Pb rerata tertinggi dijumpai di muara Sungai Dadap yakni 0.0027 ppm. Data ini menunjukkan bahwa secara rerata muara Sungai Dadap lebih banyak menerima masukan limbah yang menagndung Pb. Untuk setiap stasiun atau lokasi pengamatan kadar Pb tertinggi dijumpai di st 4 pantai Ancol 2 (K.Angsa), st 3 Cilincing, dan st 4 muara Dadap yang kadar Pb nya masing-masing adalah 0.003 ppm. Kadar Pb di semua lokasi penelitian lebih tinggi dari kadar Pb normal yang dijumpai dalam air laut yakni 0.03 ppb [8], namun masih sesuai dengan Nilai Ambang Batas (NAB) yang ditetapkan [7] untuk kepentingan biota laut yakni sebesar 0.008 ppm atau 8 ppb. Dengan demikian berdasarkan [7] kadar Pb ini belum berbahaya bagi kehidupan biota laut, dan kualitas air lautnya termasuk kelas A, baik sekali, dengan nilai = 0 (memenuhi Baku Mutu) [7]. Namun demikian bila dibandingkan dengan hasil penelitian BPLHD [1] terlihat bahwa kadar Pb hasil penelitian ini jauh lebih rendah. BPLHD mendapatkan kadar Pb di perairan Ancol sebesar 0.55 ppm (posisi stasiunnya tidak diketahui). Kadar ini lebih besar dari NAB yang ditetapkan oleh [7] untuk biota laut yakni 0.008 ppm. Dengan kualitas air laut berdasarkan hasil penelitian BPLHD ini, termasuk kelas B, baik, dengan nilai = -2 (tercemar ringan) [7]. Kadar Pb yang tinggi berbahaya bagi kehidupan biota laut. Adanya perbedaan hasil penelitian ini dengan BPLHD disebabkan letak stasiun dan waktu pengambilan sampel tidak sama. Pb bersifat toksis terhadap biota laut, kadar Pb sebesar 0.1 – 0.2 ppm telah dapat menyebabkan keracunan pada jenis ikan tertentu [9], dan pada kadar 188 ppm dapat membunuh ikan-ikan [10]. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh [11] diketahui bahwa biota-biota perairan seperti crustacea akan mengalami kematian setelah 245 jam, bila pada badan perairan di mana biota itu berada terlarut Pb pada konsentrasi 2.75-49 ppm. Sedangkan biota perairan lainnya, yang dikelompokkan dalam golongan insecta akan mengalami kematian dalam rentang waktu yang lebih panjang yaitu antara 168-336 jam, bila pada badan perairan tempat hidupnya terlarut 3.5-64 ppm Pb. Secara umum, berdasarkan hasil pengukuran kadar Pb ini, dapat dikatakan bahwa kualitas perairan ini termasuk kelas A, baik sekali dengan nilai = 0 (memenuhi Baku Mutu) [7], namun bila mengacu kepada hasil penelitian BPLHD, kualitas perairan ini termasuk kelas B, baik, dengan nilai = -2 (tercemar ringan) [7] . Kadmium (Cd) Dari Tabel 1 dapat dilihat kadar rerata di semua lokasi penelitian adalah <0,001 ppm atau <1 ppb. Data ini menunjukkan bahwa kondisi perairan pada saat pengamatan relatif homogen. Kadar Cd ini masih sesuai dengan kadar Cd yang normal dalam air laut yakni 0.11 ppb [8], dan dengan Nilai Ambang Batas (NAB) yang ditetapkan oleh [7] untuk kepentingan biota laut adalah 0.001 ppm atau 1 ppb. Berdasarkan hasil penelitian ini, kualitas perairan ini termasuk kelas A, baik sekali, dengan nilai = 0 (memenuhi Baku Mutu) [7]. BPLHD [1] mendapatkan kadar Cd di perairan Ancol (posisi stasiun tidak diketahui) sebesar 0.1 ppm atau 100 ppb. Hasil penelitian kadar Cd oleh BPLHD relatif sangat tinggi dan berbahaya bagi kehidupan biota laut. Bila mengacu kepada hasil penelitian BPLHD ini maka kualitas perairan ini termasuk kelas B, baik, dengan nilai = -2 (tercemar ringan) [7]. Cd merupakan salah satu logam berat yang bersifat racun dan merugikan bagi semua organisme hidup, bahkan juga berbahaya untuk manusia. Dalam badan perairan, kelarutan Cd dalam konsentrasi tertentu dapat membunuh biota perairan. Biota-biota yang tergolong bangsa udang-udangan (crustacea) akan mengalami kematian dalam selang waktu 24 - 504 jam bila di dalam badan perairan di mana biota tersebut hidup terlarut logam atau persenyawaan Cd pada rentang konsentrasi antara 0.005-0.15 ppm. Untuk biota-biota yang tergolong ke dalam bangsa serangga (insecta) akan mengalami kematian dalam selang waktu 24-672 jam bila ditemukan di dalam badan perairan di mana biota tersebut hidup terlarut Cd atau persenyawaan Cd dalam rentang konsentrasi antara 0.003-18 ppm. Sedangkan untuk biota-biota perairan yang tergolong ke dalam keluarga Oligochaeta akan mengalami kematian dalam selang waktu 24-96 jam bila di dalam badan perairan terlarut logam Cd atau persenyawaannya dengan rentang konsentrasi antara 0.0028-4.6 ppm [10]. Tembaga (Cu) Dari Tabel 1 dapat dilihat kadar Cu rerata di semua lokasi penelitian berkisar antara <0.001-0.002 ppm. Kadar Cu rerata tertinggi dijumpai di Cilincing yakni 0.002 ppm. Demikian juga untuk setiap stasiun pengamatan kadar Cu tertinggi dijumpai di st 3 Cilincing yakni sebesar 0.004 ppm. Data ini menunjukkan bahwa lokasi Cilincing lebih banyak menerima limbah yang mengandung Cu. Kadar ini masih sesuai dengan kadar normal Cu yang ada dalam air laut. Kadar normal Cu dalam air laut berkisar antara 0.002–0.005 ppm [10] dan 2 ppb atau 0.002 ppm [8]. Nilai Ambang Batas (NAB) Cu yang ditetapkan oleh [7] untuk kepentingan biota laut adalah 0.008 ppm. Dengan demikian kadar Cu ini masih sesuai dengan NAB tersebut. Berdasarkan kadar Cu ini maka kualitas perairan ini termasuk kelas A, baik sekali, dengan nilai = 0 (memenuhi Baku Mutu) [7]. Cu termasuk kedalam kelompok logam esensial, di mana dalam kadar yang rendah dibutuhkan oleh organisme sebagai Koenzim dalam proses metabolisme tubuh, sifat racunnya baru muncul dalam kadar yang tinggi. Biota perairan sangat peka terhadap kelebihan Cu dalam badan perairan di mana ia hidup. Konsentrasi Cu terlarut dalam air laut sebesar 0,01 ppm dapat mengakibatkan kematian fitoplankton. Kematian tersebut disebabkan daya racun Cu telah menghambat aktivitas enzim dalam pembelahan sel fitoplankton. Jenis-jenis yang termasuk dalam keluarga Crustasea akan mengalami kematian dalam tenggang waktu 96 jam, bila konsentrasi Cu berada dalam kisaran 0.17-100 ppm. Dalam tenggang waktu yang sama, biota yang tergolong ke dalam keluarga moluska akan mengalami kematian bila kadar Cu yang terlarut dalam badan perairan di mana biota tersebut hidup berkisar antara 0.16-0.5 ppm, dan kadar Cu sebesar 2.5-3.0 ppm dalam badan perairan telah dapat membunuh ikan-ikan [12]. Zink (Zn) Dari Tabel 1 dapat dilihat kadar Zn rerata di semua lokasi penelitian berkisar antara <0.001-0.0046 ppm. Kadar Zn rerata tertinggi dijumpai dijumpai pantai Ancol 1 yakni 0.0046 ppm. Data ini menunjukkan bahwa secara rerata pantai Ancol 1 lebih banyak menerima masukan limbah yang mengandung Zn. Untuk setiap stasiun pengamatan kadar Zn tertinggi juga dijumpai pantai Ancol 1 yakni di st 1 dan 2 yang kadarnya masing-masing adalah 0.007 ppm dan 0.006 ppm, selanjutnya diikuti oleh st 1 dan st 2 di muara Sungai Dadap yang kadarnya masing-masing adalah 0.005 ppm dan 0.004 ppm. Data ini menunjukkan bahwa perairan pantai Ancol 1 dan muara Sungai Dadap relatif lebih banyak menerima masukan limbah yang mengandung Zn. Kadar Zn di st 1 dan st 2 pantai Ancol 1 dan st 1 dan 2 di muara Sungai Dadap ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan kadar normal Zn dalam air laut. Kadar normal Zn dalam air laut adalah 2,0 ppb atau 0,002 ppm [8]. Demikian juga bila dibandingkan dengan Nilai Ambang Batas (NAB) yang ditetapkan oleh [7] untuk kepentingan biota laut adalah 0.05 ppm. Dengan demikian berdasarkan hasil pengukuran kadar Zn, kualitas perairan ini termasuk kelas A, sangat baik, dengan nilai = 0 (memenuhi Baku Mutu)[7]. Seperti halnya Cu, Zn juga bersifat racun dalam kadar tinggi, namun dalam kadar rendah dibutuhkan oleh organisme sebagai ko-enzim. Hasil percobaan LC50 selama 96 jam menunjukkan bahwa Zn pada kadar 60 ppm telah dapat menyebabkan kematian 50 hewan uji (ikan) [13], pada kadar 310 ppb telah dapat mematikan 50% emberio kerang C. virginica (LC50, 24 jam), dan pada kadar 166 ppb dan 195,4 ppb telah dapat mematikan embrio dan larva kerang M. marcenaria sebanyak 50% (LC50, 24 jam)[14 -15]. Nikel (Ni) Dari Tabel 1 dapat dilihat kadar Ni rerata di semua lokasi penelitian berkisar antara 0.001-0.0045 ppm. Kadar Ni rerata tertinggi dijumpai di lokasi Cilincing yakni 0.0045 ppm. Untuk setiap pengamatan, kadar Ni tertinggi dijumpai di st 3 Cilincing yakni 0.007 ppm. Data ini menunjukkan bahwa lokasi Cilincing relatif lebih banyak menerima masukan limbah yang mengandung Ni. Kadar Ni di st 3 ini lebih tinggi dari kadar normal Ni dalam air laut yakni 2.0 ppb atau 0.002 ppm [8] dan lebih rendah dibandingkan dengan NAB yang ditetapkan [7] untuk kepentingan biota laut yakni 0.05 ppm. Dengan demikian kadar Ni ini belum berbahaya bagi kehidupan biota perairan. Seperti halnya logam berat yang lain, Ni juga bersifat racun terhadap organisme perairan. Menurut [12] terdapat pengaruh toksisitas Ni pada ikan salmon. Pada kadar 1200 ppb (1.2 ppm) logam Ni dapat mematikan 50% embrio dan larva kerang C. virginica (LC50, 24 jam), dan pada kadar 1300 ppb (1.3 ppm) dan 5700 ppb (5.7 ppm) dapat mematikan 50% embrio dan larva kerang M. marcenaria [14,15]. Dengan demikian berdasarkan hasil pengukuran kadar Ni, kualitas perairan ini termasuk kelas A, baik sekali, dengan nilai = 0 (memenuhi Baku Mutu) [7]. Secara keseluruhan bila diperhatikan untuk setiap unsur logam berat, terlihat bahwa kadar Pb lebih tinggi dibandingkan dengan yang lain. Data ini menunjukkan bahwa perairan Teluk Jakarta pada saat pengamatan menerima masukan limbah yang mengandung Pb lebih banyak dibandingkan yang lain. Pada tabel berikut ini dapat dilihat konsentrasi beberapa jenis logam yang dapat mengakibatkan kematian biota laut pada pemaparan 96 jam. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa kadar logam berat Hg, Pb, Cd, Cu, Zn dan Ni hasil penelitian ini relatif masih sesuai dengan NAB yang ditetapkan oleh [7] untuk kepentingan biota laut, kecuali Hg, Pb dan Cd hasil penelitian BPLHD yang relatif lebih tinggi dari NAB. Namun demikian dapat dikatakan bahwa kematian massal ikan-ikan di Teluk Jakarta bukan disebabkan oleh logam berat. Hasil penelitian kadar logam berat Hg, Pb, dan Cd dalam beberapa jenis ikan (tembang, sembilang, kerapu, dan rajungan) yang sudah mati menunjukkan bahwa kadar ketiga logam berat tersebut masih berada di bawah NAB yang diperkenankan, sehingga tidak berbahaya bila dikonsumsi manusia. Kadar Hg, Pb, dan Cd dalam ikan Kerapu masing-masing adalah 0.008 ppm, 1.44 ppm, dan 0.30 ppm, sedang NAB nya masing-masing adalah 0.5 ppm, 2 ppm, dan 1 ppm [1]. Menurut [10] kadar Hg sebesar 0.23-0.8 ppm dapat mematikan ikan pada pemaparan 96 jam, Pb 188 ppm, Cd 22-55 ppm, Cu 2.5-3.5 ppm, Zn 60 ppm, dan Ni 350 ppm (Tabel 2). Dengan demikian berdasarkan Tabel 2 di atas dapatdikatakan bahwa logam berat bukanlah penyebab kematian ikan-ikan di Teluk Jakarta. Hal ini disebabkan karena logam berat bersifat akumulatif, sifat racunnya baru muncul bila logam berat tersebut terakumulasi dalam kadar yang relatif tinggi dalam tubuh biota, keadaan ini tercapai dalam waktu yang cukup lama, sehingga tidak dapat menimbulkan kematian secara mendadak. Menurut BPLHD [1] selain merkuri, penyebab lain kematian ikan di Teluk Jakarta ini disebabkan oleh senyawa fenol. Fenol merupakan senyawa alkohol aromatik yang bersifat toksis dan banyak digunakan sebagai antiseptik. Kematian massal ikan-ikan di perairan Batam beberapa tahun lalu dilaporkan akibat pencemaran oleh senyawa fenol ini. Selain fenol penyebab lain adalah terjadinya blooming fitoplankton akibat pengayaan unsur hara yang berasal dari darat, sehingga muncul jenis-jenis fitoplankton yang mengeluarkan racun saxitoksin (C10H17N7O4) dan sejenisnya. Saxitoksin adalah salah satu penyebab Paralytic Shellfish Poisoning (PSP) dengan gejala seperti sakit kepala, perasaan melambung, pusing, kurang koordinasi, kaku mulut, lengan, atau lutut, otot lemah menyebabkan suakr bergerak dan berbicara, muntah, diare dan sebagainya. PSP juga menyebabkan sulit bernafas. Gejala berakhir setelah 6-12 jam selanjut tubuh jadi lemah selama satu minggu dan seterusnya. Jenis-jenis fitoplankton beracun yang berhasil diidentifikasi dalam kasus kematian massal ikan-ikan dan kerang di Teluk Jakarta ini antara lain adalah pyrodinium sp, gymnodinium sp, protoperidium sp, prorocentrum sp, dan dynopsis caudate [1]. Banyak laporan mengenai kasus-kasus blooming fitoplankton beracun antara lain blooming populasi pyrodinium di Asia Tenggara sejak tahun 1981, seperti di Sabah, Malaysia, dan Filipina [16]. Di Indonesia kasus ini juga pernah dijumpai di perairan Teluk Ambon (1994), Kao (1995) (Halmahera), dan Manokwari (1997). Di NTB tahun 1959, 1988, dan 1983, di Kalimantan Timur tahun 1988 dan di Teluk Jakarta tahun 1993 dan 1994 [17]. Menurut [18] blooming fitoplankton di suatu perairan mempunyai korelasi yang erat dengan tingkat pencemaran dan pemanfaatan perairan tersebut. Pemunculan fitoplankton beracun ini umumnya dipicu oleh tersedianya unsur haramikro di suatu perairan. Selanjutnya [1] juga menyatakan bahwa terjadinya pasang merah (red tide) ini akibat tingginya kesuburan perairan. Kesuburan ini dipicu oleh tingginya limbah-limbah domestik, pabrik-pabrik, dan kapal-kapal yang Tabel 2. Konsentrasi ion-ion Logam (ppm) yang mematikan beberapa biota laut pada pemaparan 96 Jam No Logam Jenis Biota Laut Ikan Udang Kerang Polychete Tabel 3. Jenis-Jenis Fitoplankton penyebab Pasang Merah (red tide) di Teluk Ambon No Nama Spesies Kelompok Sifat membuang limbahnya ke laut, sehingga ikan-ikan kekurangan oksigen dan akhirnya mati. Kesuburan perairan biasanya ditentukan oleh tingginya kandungan zat hara antara lain fosfat dan nitrat. Hasil pengamatan [19] menunjukkan kadar fosfat dan nitrat di perairan muara beberapa sungai (Ciliwung, Cisadane, dan Citarum) berkisar antara 0.08-1.40 ppm atau 26.10-456.84 ug.at/l dan 0.07-0.32 ppm atau 22.84-104.42 ug.at/l. Selanjutnya [17] mendapatkan kadar fosfat dan nitrat rerata di perairan ini pada bulan Juli 2002 masing-masing adalah 0.1 ppm dan 0.05 ppm, sedangkan pada bulan September 2002 berkisar antara 0.2-0.5 ppm dan antara 0.03-0.1 ppm. Kadar kedua zat hara ini relatif tinggi, kadar fosfat dan nitrat yang normal dalam air laut masing-masing adalah 0.01 – 4.0 ug.at/l dan 0.01-0.50 ug.at/l. Menurut Ilahude dan Liasaputra [20] kadar fosfat di perairan laut yang relatif subur adalah 0.60 ug.at/l. Baku Mutu Air Laut [7] menetapkan NAB untuk fosfat dan nitrat sebesar 0.015 ppm dan 0.008 ppm. Dengan demikian kadar fosfat dan nitrat di perairan Teluk Jakarta yang relatif tinggi ini, dapat memicu terjadinya blooming fitoplankton yang diiringi dengan muncul jenis-jenis fitoplankton beracun. Keadaan ini dijumpai oleh [17], di mana dengan kondisi zat hara fosfat dan nitrat yang tinggi di Teluk Jakarta tersebut dijumpai jenis fitoplankton yang berpotensi memicu terjadinya pasang merah dari spesies Dinaflagellata yaitu Ceratium, Dynophysis dan Gymnodium dan dari spesies Bacillariophyceae yaitu Nitzchia, Chaetocheros dan Thallassiora. Dalamtabel berikut ini dapat dilihat jenis-jenis fitoplankton toksik dan pemicu terjadinya pasang merah (red tide) di Teluk Ambon. 4. Kesimpulan Berdasarkan data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa kadar logam berat Hg, Pb, Cd, Cu, Zn, dan Ni hasil untuk kepentingan biota laut, sebaliknya hasil penelitian BPLHD kadar logam berat tersebut telah melewati NAB. Perbedaan hasil ini disebabkan oleh perbedaan letak stasiun sampling. Dengan demikian penyebab kematian massal ikan ini bukan disebabkan oleh logam berat, akan tetapi disebabkan oleh munculnya beberapa jenis fitoplankton yang beracun, sehingga warna air laut menjadi kemerahan. Selain fitoplankton beracun, senyawa fenol dapat pula menyebabkan kematian ikan, mengingat senyawa ini paling banyak digunakan oleh manusia sebagai antiseptic. Daftar Pustaka [1] Anon., Environemntal Watch, Catatan Peristiwa Kerusakan Lingkungan, Forum Pengendali Lingkungan Hidup Indonesia, Jakarta, 2004. [2] S. Yatim, S. Surtipanti, S. Syamsu, E. Lubis, Majalah Batan No.12 (1979) 1. [3] H.P. Hutagalung, H. Razak, Oseanologi di Indonesia 15 (1982) 1. [4] H.P. Hutagalung, Bull. Environ. Contam. Toxicol. 39 (1987) 406. [5] H.P. Hutagalung, In: B. Watson, K. S. Ong, Vigers (Eds.), Proceedings. of ASEAN-CANADA Midterm Technical Review Converence of Marine Science, Singapore, 1995, p.273. [6] S. Westerlund, B. Magnuson, Anal. Chim. Acta. 131(1981) 63. [7] Kantor Kementrian Negara Lingkungan Hidup, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.Kep-51/2004 Tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Air Laut, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Jakarta, 2004. [8] M. Waldichuck, In: Verberg & Venberg (Eds.), Pollution and Psysiology of Marine Organism, Academic Press, London, 1974. [9] L. Thamzil. S. Suwirna, S. Surtipanti, Majalah Batan XIIII (1980) 41. [10] H. Palar, Pencemaran & Toksikologi Logam Berat, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1994. [11] M. Murphy, A manual for toxicity tests with freswater macroinvetebrates and a review of the effects of specific toxicants, University of Wales Institute of Science and Technology Publication, 1979. [12] G.W. Bryan, In: A.P.M. Lockwood (Ed.) Effects of pollutants on Aquatic Organisms, Cambridge University Press, Cambridge, 1976. [13] W.D. Connel, J.M. Gregory, Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1995. [14] A. Calabrese, J.R. MacInnes, D.A. Nelson, J.E. Miller, Marine Biol. 41 (1977) 179. [15] A. Calabrese, R.S. Collier, D.A. Nelson, J.R. MacInnes, Mar. Biol. 18 (1973) 162. [16] N.N. Wiadnyana, Prosiding Seminar Kelautan LIPI-UNHAS II, 1998, p. 92 [17] R.P. Mulyasar, A. Sari. International Seminar on Marine and Fisheries, Jakarta, Indonesia, 2003, p.198. [18] T. Sidabutar, S. A. Yusuf., N.N. Wyadnyana, Prosiding Seminar Kelautan LIPI-UNHAS II, 1998, p.177. [19] Edward, Kandungan Zat Hara Fosfat dan Nitrat di Teluk Jakarta, Laporan Penelitian, Balai Dinamika Laut Pusat Penelitian Oseanologi-LIPI, Jakarta, 2003. [20] A. Ilahude, Liasaputra, In: A. Nontji, A. Djamali (Ed.) Buku Teluk Jakarta, Pengkajian Fisika, Kimia, Biologi & Geologi, LON-LIPI, Jakarta, 1980, p.1.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments