Laporan OsBio

By Agus Nurul K - 8:39 AM

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belang
Biodiversity yang merupakan perpajangan diri istilah biological diversity di kenal dengan “Keanekaragaman hayati” dan merupakan pengistilahan dari seluruh mahluk hidup tingkat tinggi (hewan dan tumbuhan) maupun tingkat rendah (micro-organisma) serta seluruh komponen lingkungan fisik, biologi dan ekologi. Istilah ini juga menggambarkan kekayaan organisma hidup yang ada pada suatu kawasan tertentu. Di dunia terdapat lebih dari 1.75 juta jenis dari organisma yang diketahui dan ini terus berkembang sesuai dengan perkembangan pengkategorian penemuan jenis sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Sampai saat ini pun penggolongan jenis dari organisma belum sepenuhnya mengungkapkan seluruh jenis hewan, tumbuhan dan micro-organisma yang ada di dunia.
Pada praktikum keanekaragaman hayati laut ini para praktikum diharapkan mengetahui Seluruh keanekaan bentuk kehidupan di bumi, beserta interaksi diantara mereka dan antara mereka dengan lingkungannya. Keanekaragaman hayati atau keragaman hayati merujuk pada keberagaman bentuk-bentuk kehidupan: tanaman yang berbeda-beda, hewan dan mikroorganisme, gen-gen yang terkandung di dalamnya, dan ekosistem yang mereka bentuk. Kekayaan hidup adalah hasil dari sejarah ratusan juta tahun berevolusi.
Keanekaragaman hayati biasanya dipertimbangkan pada tiga tingkatan: keragaman genetik, keragaman spesies dan keragaman ekosistem.
• Keragaman genetik merujuk kepada perbedaan informasi genetik yang terkandung dalam setiap individu tanaman, hewan dan mikroorganisme. Keragaman genetik terdapat di dalam dan antara satu populasi spesies maupun spesies yang berbeda.
• Keragaman spesies merujuk pada berbedanya spesies-spesies yang hidup.
• Keragaman ekosistem berkaitan dengan perbedaan dari habitat, komunitas biotik, dan proses ekologi, termasuk juga tingginya keragaman yang terdapat pada ekosistem dengan perbedaan habitat dan berbagai jenis proses ekologi
• Karena tidak terdapt garis batas yang jelas dan yang satu merupakan bentuk lanjutan yang lain disepanjang suatu gradien akibat meningkatnya perlindungan terhadap gerakan gelombang, maka fauna dan flora yang juga menunjukkan suatu peralihan dari organisme khas pantai pasir terbuka menjadi organisme khas pantai berlumpur di sepanjang gradien yang sama.
1.2 Tujuan
o Untuk mengidentifikasi biota-biota yang hidup pada ekosistem berlumpur.
o Untuk mengetahiu tingkat keanekaragaman dan dominasi suatu biota pada ekosistem pantai berlumpur.
1.3 Manfaat
o Para praktikan dapat mengetahui bermacam-macam keanekaragaman suatu biota yang hidup dilaut yang beraneka ragam
o Para praktikan dapat mengetahui














BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Aksiologi Ekosistem Pesisir
Ekosistem pesisir dan laut merupakan ekosistem alamiah yang produktif, unik dan mempunyai nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi. Selain menghasilkan bahan dasar untuk pemenuhan kebutuhan pangan, keperluan rumah tangga dan industri yang dalam konteks ekonomi bernilai komersial tinggi, ekosistem pesisir dan laut juga memiliki fungsi-fungsi ekologis penting, antara lain sebagai penyedia nutrien, sebagai tempat pemijahan, tempat pengasuhan dan tumbuh besar, serta tempat mencari makanan bagi beragam biota laut. Di samping itu, ekosistem pesisir dan laut berperan pula sebagai pelindung pantai atau penahan abrasi bagi wilayah daratan yang berada di belakang ekosistem ini
(Bengen, 2002).
Tataruang sebagai wujud struktural ruang dan pola penggunaannya secara terencana atau tidak dari bagian permukaan bumi di laut dan pesisir, dikenal selama ini sebagai objek dalam memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Selain mengandung beraneka ragam sumber daya alam dan jasa lingkungan yang telah dan sementara dimanfaatkan manusia, ruang laut dan pesisir menampilkan berbagai isu menyangkut keterbatasan dan konflik dalam penggunaannya. Untuk mengharapkan keberlanjutan manfaat ruang laut dan pesisir, berbagai upaya sadar selayaknya digiatkan dalam suatu rangkaian penataan ruang. Secara normatif, penataan ruang dipahami sebagai suatu rangkaian proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang dialokasikan menjadi kawasan lindung dan kawasan budidaya (UU Nomor 24 Tahun 1992). Perencanaan tata ruang memungkinkan fungsi dan manfaat ruang tersebut dapat berkelanjutan dinikmati oleh manusia. Hal ini menjadi semakin penting karena ruang laut dan pesisir peka terhadap gangguan sehingga setiap kegiatan pemanfaatan dan pengembangan di mana pun juga di wilayah ini, secara potensial dapat merupakan sumber kerusakan bagi ekosistem-ekosistem di wilayah ini.
(Chusing, D.H. 1977)

Wilayah pantai dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa tipe. Sejarah perkembangan pengklasifikasian pantai di awali tahun 1930 oleh Francis Shepard kemudian mengalami beberapa kali perubahan pada tahun 1948, 1963 dan terakhir di perbaharui pada tahun 1973 dimana klasifikasi ini menjadi standart dan dipakai oleh U.S Army of Engineers (1998) sebagai dasar untuk membuat klasifikasi pantai. Pantai berlumpur sendiri secara genetik digolongkan sebagai marine deposition coast. Secara harafiah di ambil dari bahasa inggris adalah mudflat atau salt marshes yang berbentuk delta (deltaic) atau pantai secara gradient datar dan memiliki pengaruh gelombang kecil (U.S Army Of Engineers, 1998; Delgado et al, 2002).Peran ekosistem pantai berlumpur di wilayah pesisir tergambar oleh kehadiran ekosistem lainnya seperti ekosistem hutan mangrove dan ekosistem delta yang saling memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya. Adanya aktivitas fauna dan flora serta keadaan hydrodinamika air laut seperti kejadian pasang dan surut (tidal), arus pasang surut (tidal current), gelombang (waves), distribusi salinitas dan transport sedimen merupakan suatu keadaan in situ dari ekosistem ini.
(Hardy, A. 1965)
Gambar:
Gambar 1. Bagan alir alur pikir rantai makanan, proses-proses fisik
dan aliran karbon di ekosistem pantai berlumpur.

2.2 Ekosistem Pantai Berlumpur
Pantai berlumpur dicirikan oleh ukuran butiran sedimen sangat halus dan memiliki tingkat bahan organik yang tinggi, pantai ini pula banyak dipengaruhi oleh pasang surut yang mengaduk sedimen secara periodik. Interaksi organisme dengan sedimen dan pengaruh evaporasi perairan sangat tinggi di lingkungannya. Seperti yang terdapat di laut kuning,Korea Selatan dan teluk Fundy di Amerika Utara adalah gambaran luasnya daerah kepesisiran dengan dominasi sebagai daerah pengendapan lumpur (mud deposition) yang mengurung daerah tersebut, sehingga menjadikan pantai berlumpur sebagai mintakat yang memiliki pengaruh energi rendah seperti estuari dan lagoon juga sebagai daerah pemasukan air tawar (influx freshwaters) dalam jumlah yang besar sehingga kompleksitas sedimen dominan adalah berbutir halus (dominantly fine-grained sediments). Bagaimanapun, pelumpuran yang terjadi di wilayah pantai tidak hanya disebabkan oleh energi lingkungan rendah, akantetapi bahwa kelipahan sedimen seperti sedimen halus,pengendapan lumpur dapat tetap berlaku dan bahkan pada pantai yang memiliki pengaruh gelombang yang besar.

Gambar 2. Faktor pengontrol konsentrasi sediment di kolom air (Webster et al, 2003)

Selanjutnya, oleh Webster et al, 2003 membagi tidalflat kedalam 3 (tiga) model.Pertama, subtidal., merupakan daerah di bawah pasang surut dan selalu terekspose (kelihatan) daratannya karena tidak tertutup oleh genangan air. Sedimen akan membentuk sabuk (belt) searah dengan garis pantai dimana pengaruh daerah intertidal sangat besar sehingga sedimen dasar dari subtidal ini membentuk liang (burrowed) dan butiran(pelletized). Aliran air juga, turut serta di dalam pergerakan sedimen memotong areal ini,menjadikan ukuran butiran sedimennya bertambah halus. Penghalusan sedimen tersebut terjadi karena dipindahkannya sedimen berukuran kasar (coarse sediment) oleh aliran sungai dan setelah mencapai muara sungai akan dikurung oleh kondisi pasang-surut daerahnya,sehingga tidak mudah tertembus oleh pengaruh eksternal lainnya. Adanya proses ini, mengakibatkan daerah muara sungai selalu terjadi pelumpuran
Kedua, Zona Intertidal., merupakan zona yang berada di antara surut normal dan pasang tinggi yang mana keterjadian pasang dan surutnya terjadi dua kali dalam sehari(semidiurnal tides). Gabungan gaya yang mengangkut selama waktu transport, akan mengakibatkan deposisi dimuara sungai, susunan lithologi pantai campuran pasir dan lumpur terdapat dibagian tengah sedangkan pasir dominan berada paling datar (ujung) dari zona intertidal. Transport sediment tersuspensi (melayang) di rataan intertidal, membentuk formasi lumpur dan liat yang mempunyai keadaan bioturbasi, rekahan lumpur dan pelemahan arus.Di daerah tengah dari rataan intertidal, terkover separuh siklus pasang surutnya memiliki perioda penenggelaman sama dengan perioda pengangkutan sedimen pada setiap lapisan yang terbentuk di rataan tersebut. Keadaan dinamis antara pasir dan lumpur akan saling bertukar tempat akibat pengaruh aliran atau olakan gelombang dengan kecenderungan bahwa olakan ini akan membawa material sedimen kelaut lapas (open sea). Pengangkutan dan pengendapan pasir, adalah merupakan fenomena yang terjadi di zona intertidal pantai berlumpur, terindikasi bahwa transport sedimen melayang dan didasar air umumnya aktiv pada saat pasang terendah.
Ketiga, Zona Supralittoral., merupakan zona di atas pasang naik sedangkan sedimennya terdeposit ditunjukkan oleh adanya subareal dengan kondisi pada umumnya memiliki waktu penggenangan selama terjadi badai (musim semi). Zone ini dibagi dengan melihat kondisi alamiah pantai tersebut, yang mana diawali oleh tumbuhnya beberapa vegetasi pantai berlumpur dan badan pasir. Storm-Driven di daerah supratidal ikut serta di dalam mensuplai sedimen sehingga menciptakan lapisan sedimen hanya dalam beberapa jam. Lapisan ini yang terbentuk akibat badai akan terjadi pengkayaan karbon oleh ganggang organik, yang berkembang biak saat terjadi badai. Pada bagian lain dari daerah supralittoral dominasi ganggang blue-green filamentous menjerat dan mengikat sedimen berbutir halus lewat alga yang ada di daerah subtidal. Pengikatan sedimen oleh alga di daerah subtidal sehingga terjadi penumpukan sedimen di muara sungai, disamping itupula banyaknya sedimen diakibatkan oleh banjir. Dominasi pasang surut, mengakibatkan pelumpuran sehingga pada waktu penggenangan akan terbentuk beting-beting lumpur sedangkan pada saat surut akan mengalami pengeringan.

Gambar 3. Klasifikasi wilayah pesisir ( Webster et al, 2003)
( Webster et al, 2003)

2.3 Rantai Makanan Pantai Berlumpur
Rantai makanan adalah perpindahan energi makanan dari sumber daya tumbuhan melalui seri organisme atau melalui jenjang makan (tumbuhan-herbivora-carnivora). Pada setiap tahap pemindahan e nergi, 80%–90% energi potensial hilang sebagai panas, karena itu langkah-langkah dalam rantai makanan terbatas 4-5 langkah saja. Dengan perkataan lain,semakin pendek rantai makanan semakin besar pula energi yang tersedia Ada dua tipe dasar rantai makanan:
1. Rantai makanan rerumputan (grazing food chain). Misalnya: tumbuhan- herbivoracarnivora.
2. Rantai makanan sisa (detritus food chain). Bahan mati mikroorganisme (detrivora =organisme pemakan sisa) predator.
Suatu rantai adalah suatu pola yang kompleks saling terhubung, rantai makanan di dalam suatu komunitas yang kompleks antar komunitas, selain daripada itu, suatu rantai makanan adalah suatu kelompok organisma yang melibatkan perpindahan energi dari sumber utamanya (yaitu., cahaya matahari, phytoplankton, zooplankton, larval ikan, kecil ikan, ikan besar,binatang menyusui). Jenis dan variasi rantai makanan adalah sama banyak seperti jenis/spesies di antara mereka dan tempat kediaman yang mendukung mereka. Selanjutnya, rantai makanan dianalisa didasarkan pada pemahaman bagaimana rantai makanan tersebut memperbaiki mekanisme pembentukannya (gambar 4). Ini dapat lebih lanjut dianalisa sebab bagaimanapun jenis tunggal boleh menduduki lebih dari satu tingkatan trophic di dalam suatu rantai makanan.
(Johannessen et al, 2005)

Gambar

Gambar 4. Rantai makanan di wilayah pesisir (Long, 1982 in Johannessen et al, 2005)

Dalam bagian ini, diuraikan tiga bagian terbesar dalam rantai makanan (Johannessen et al,2005) yaitu: phytoplankton, zooplankton, dan infauna benthic. Sebab phytoplankton dan zooplankton adalah komponen rantai makanan utama dan penting, dimana bagian ini berisi informasi yang mendukung keberadaan organisme tersebut. Sedangkan, infauna benthic adalah proses yang melengkapi pentingnya rantai makanan di dalam ekosistem pantai berlumpur. Selanjutnya, pembahasan ini penekananya pada bagaimana mata rantai antara rantai makanan dan tempat berlundungnya (tidal flat; pantai berlumpur).
(http://jchkumaat.wordpress.com)



2.3.1 Phytoplankton
Pertumbuhan phytoplankton di wilayah pantai berlumpur diatur dengan suatu interaksi antara matahari, hujan, bahan gizi, dan gerakan massa air, serta convergensi yang di akibatkan oleh arus laut. Sampai jumlah tertentu produksi phytoplankton tergantung pada cuaca, dengan pencampuran dan stratifikasi kolom air yang mengendalikan produktivitas utama. Percampuran massa air vertikal yang kuat mempunyai suatu efek negatif terhadap produktivitas, dengan mengurangi perkembangan phytoplankton maka terjadi penambahan energi itu sendiri dan penting bagi fotosintesis. Bagaimanapun, pencampuran vertikal adalah juga diuntungkan karena proses penambahan energi, yang membawa bahan gizi (nutrient) dari air menuju ke permukaan di mana mereka dapat digunakan oleh phytoplankton.

2.3.2 Zooplankton dan Heterotrophs
Zooplankton dan heterotrophs lain (suatu tingkatan organisma trophic sekunder yang berlaku sebagai consumer utama organik) di dalam kolom air mengisi suatu relung ekologis penting sebagai mata rantai antara produksi phytoplankton utama dan produktivitas ikan. Ikan contohnya, dengan ukuran panjang antara 50 - 200 milimeter, seperti; ikan herring juvenile dan dewasa, smelt, stickleback, sand lance, dan ikan salem dewasa, minyak ikan, hake, pollock, lingcod, sablefish, dan ikan hiu kecil, memperoleh bagian terbesar gizi mereka dari zooplankton dan heterotrophs lain. Penambahan konsumen utama ini adalah mangsa utama untuk sculpins, rockfish, ikan hiu, burung, dan paus ballen (Strimbling and Cornwel, 1997). Di muara sungai Duwamish (dengan kedalaman ±4), ditemukan ikan salem muda memangsa gammarid amphipods yang lebih besar dari ukuran tubuhnya. Selain itu, ikan salem juga menyukai jenis Corophium salmonis dan Eogammarus confervicolus. Sebagai tambahan, gammarid amphipods, dalam bentuk juvenille mengkonsumsi calanoid dan harpacticoid copepods. Merah muda pemuda ikan salem, pada sisi lain, lebih menyukai harpacticoids yang diikuti oleh calanoid copepods. Juvenille chinook mempercayakan kepada gammaridean amphipods dan calanoid copepods sebagai betuk diet mereka. Di awali studi oleh Zedler (1980), menunjukkan bahwa 85 sampai 92 % zooplankton di teluk adalah calanoid copepods. Secara teknis, istilah zooplankton mengacu pada format hewan plankton, yang tinggal di kolom air dan pergerakan utama semata-mata dikendalikan oleh keadaan insitu lingkungan (current movement). Bagaimanapun, yang mereka lakukan akan mempunyai kemampuan untuk berpindah tempat vertikal terhadap kolom air dan boleh juga berpindah tempat secara horisontal dari pantai ke laut lepas sepanjang yaitu musim semi dan musim panas dalam untuk mencari lokasi yang cocok untuk pertumbuhan mereka. Migrasi vertikal menciptakan sonik lapisan menyebar ketika zooplankton bergerak ke permukaan pada malam hari dan tempat yag terdalam pada siang hari. Pada daerah berlumpur dengan olakan gelombang besar, migrasi vertical zooplankton akan terhalang. Sedangkan, migrasi horisontal musiman mengakibatkan zooplankton akan mengalami blooming (pengkayaan).
(http://www.iwf.or.id/ekosistem.htm)

2.3.3. Infauna dan Epifauna Benthic
Infauna Benthic (organisma yang tinggal di sedimen) dan epifauna (organisma yang mempertahankan hidup di sedimen) adalah suatu kumpulan taxa berbeda-beda mencakup clam, ketam, cacing, keong, udang, dan ikan. Sedangkan burrowers, adalah binatang pemakan bangkai, pemangsa, dan pemberi makan/tempat makan sejumlah phytoplankton, zooplankton, sedimen, detritus dan nutrient lainnya. Mereka berperan penting dalam jaring makanan di pantai berlumpur, juga bertindak sebagai konvertor untuk pembuatan bahan-bahan organik pada tingkatan trophic lebih tinggi, sehingga menyokong peningkatan produktivitas alam bebas (wildlife) dan ikan. Di lain pihak, ikan-ikan demersal, neretic, dan pemangsa terestrial contohnya elasmobranchs ( ikan hiu, skates dan manta rays-pari), flatfish dan jenis lainnya; shorebirds; mamalia laut, termasuk ikan paus dan berang-berang laut; dan manusia. Dengan diuraikannya secara rinci bagaimana berbagai rantai makanan terhubung ke dalam suatu jaringan makanan terpadu pada benthic community dalam system dinamika pantai berlumpur adalah penting untuk di jawab bahwa ekosistem pantai berlumpur ini berperan di dalam keseimbangan produktifitas primer perairan.
( Begen, D. G. 2002.)

2.4 Proses-proses Fisik di Pantai Berlumpur
Fenomena pergerakan air dan aliran sedimen di daerah pesisir, lebih khusus untuk dataran delta dan hutan mangrove adalah fenomena khusus dan spesifik tersusun oleh materi lebek/lumpur. Proses sedimentasi dipantai dapat dibedakan menjadi deposisi dan siltasi. Deposisi umumnya diartikan sebagai pengendapan sedimen lepas (klastik), Sedangkan siltasi atau pelumpuran diartikan sebagai pengendapan material lumpur atau sedimen lembek. Proses hydro-physical yang terjadi di pantai berlumpur adalah suatu rejim dari seluruh variabel kejadian dimana angka rata-rata menjadi penting sebagai acuan melihat pergerakan air (current),dinamika pasang surut (tidal assymetri) dan energi gelombang (wave energy) pada suatu musim. Pergerakan massa air ini banyak mempengaruhi keberadaan organisme pantai berlumpur. Pergerakan uni-directional, multi-directional dan ocillatory, adalah tiga tipe yang berbeda pergerakan massa air di pantai berlumpur dimana pergerakan air ini akan memberikan tekanan yang menguntungkan keadaan lingkungan itu sendiri. Selain itu, selama badai (storm event) di daerah pantai berlumpur akan menimbulkan perubahan ekstrim pembentukan energi dan arah gelombang
(Hardy, A. 1965)
Menurut Buller and McMannus (1979) pantai berlumpur sangat sensitive terhadap pengaruh perubahan lingkungan perairan. Sebagai contoh, aksi gelombang yang muncul secara periodik dapat merubah paras pantai berlumpur secara fisik akibat diterjang badai, sehingga lumpur atau pasir akan terangkat setinggi 20 cm. Seperti adanya kejadian badai, merupakan suatu mekanisme penting yang dapat mengurutkan kembali sedimen (lumpur), sisa-sisa partikel kasar dan pelepasan kembali kealam sedimen-sedimen yang telah tercemar.
Proses-proses fisik di pantai berlumpur merupakan suatu sistem yang saling kait-mengkait antara sistem daratan dan lautan. Pada sistem di estuaria adalah merupakan contoh kasus yang menarik, di karenakan pada sistem inilah pada umumnya tedapat pantai berlumpur. Aliran energi pada wlayah estuari mencakup aliran keluar dan aliran kedalam, yang dapat merubah bentuk bentang alam dari sistem estuari tersebut. Secara umum estuaria merupakan bagian dari pantai dimana aliran sungai bermuara. Terdapat berbagai cara dalam mendefinisikan dan mengklasifikasi estuaria. Dimana, estuaria dipandang sebagai daerah yang terjangkau oleh aliran pasang surut dari laut terbuka, terdapat gradien salinitas dan densitas yang dihasilkan oleh proses pertemuan antara aliran air laut salinitas tinggi dan air sungai bersalinitas rendah
(Kordmondy, E.J. 1969)


Gambar 5. Model Sistemis Aliran di Daerah Estuari (Towned, 2004)

Disajikan pada model sistemik di atas (gambar 5) oleh Towned (2004), membagi atas tiga (3) kompartement utama sebagai acuan terjadinya proses aliran di daerah estuari. Kompartement pertama adalah: Marine System, dimana proses utama sebagai pengendali gerak adalah tekanan (pressure) sehingga terbentuknya hembusan yang mengakibatkan angin dan gelombang. Pusatnya adalah merupakan olakan yang berasal dari pasang surut dan peningkatan massa air laut. Kompartemen selanjutnya adalah: Estuary, terbagi atas dua bagian utama adalah dimensi butiran sedimen (granula) dan bentuk alamiah estuaria, pengaruh utama yang terjadi pada sistem ini adalah prosess terjadinya aktivitas pasang surut (tidal assymetri) sehingga terjadi gerakan aliran seperti current density dan secondary circulation. Lain halnya proses sistemis dinamika pergerakan sedimen di daerah estuari adalah merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan di antara ketiga sistem yang ada di wilayah pesisir. Contoh kasus pada gambar 6, memperlihatkan bahwa behaviour system dari pantai berlumpur (Towned, 2004) di awali oleh pengaruh laut (marine system) dan daratan (catchment basin). Sifat neutral bouyant pada sistem estuari mempengaruhi sifat aliran (arus) baik dari darat maupun laut sehingga sedimen akan terkonsentrasi di muara sungai.


Gambar 6. Model Sistemis Aliran Sedimen Halus di Daerah Estuari (Towned, 2004)

Demikianpula, proses yang terjadi di pantai berpasir, dimana proses keluar masuknya air di dalam sistem karena adanya pengaruh dari tiga (3) model sistem yang ada. Pertama adalah pada sistem laut (marine system), dominan di pantai berpasir adalah sedimen halus menumpuk membentuk dan terakumulasi di wilayah estuari
(Swedmark, B. 1964)
Dari analisis sistem yang di lakukan oleh Towned, didukung pula oleh Costas et al,2005, bahwa distribusi sedimen mengarah kemuara akan memiliki ukuran butiran sediman yang lebih kecil, sampai di bagian tengah daerah estuaria (mid – estuaria). Perbedaan yang ditunjukkan oleh Allen, 1972 in Lampe et al, 2003 disebabkan karena di daerah estuaria tersebut mengalami gangguan oleh adanya aktivitas manusia. Dimana umumnya daerah estuaria sendiri adanya pemanfaatan berlebih dengan didirikannya banyak daerah industri.Oleh karena itu, dinamika sifat fisik di wilayah pantai berlumpur merupakan suatu fenomena tersendiri, walaupu telah mengalami banyak gangguan campur tangan manusia akan tetapi wilayah ini sendiri belumlah mendapat perhatian khusus di dalam memanfaatkan sebagai lahan potensial.
(Zedler, J. B. 1980)

2.5 Suksesi
Komunitas yang terdiri dari berbagai populasi bersifat dinamis dalam interaksinya yang berarti dalam ekosistem mengalami perubahan sepanjang masa. Perkembangan ekosistem menuju kedewasaan dan keseimbangan dikenal sebagai suksesi ekologis atau suksesi. Suksesi terjadi sebagai akibat dari modifikasi lingkungan fisik dalam komunitas atau ekosistem. Proses suksesi berakhir dengan sebuah komunitas atau ekosistem klimaks atau telah tercapai keadaan seimbang (homeostatis). Di alam ini terdapat dua macam suksesi, yaitu suksesi primer dan suksesi sekunder.
(Kadi, Achmad dan Wanda S. A. 1988)
2.5.1 Suksesi Primer
Suksesi primer terjadi bila komunitas asal terganggu. Gangguan ini mengakibatkan hilangnya komunitas asal tersebut secara total sehingga di tempat komunitas asalterbentuk habitat baru. Gangguan ini dapat terjadi secara alami, misalnya tanahlongsor, letusan gunung berapi, endapan Lumpur yang baru di muara sungai, danendapan pasir di pantai. Gangguan dapat pula karena perbuatan manusia misalnya penambangan timah, batubara, dan minyak bumi. Contoh yang terdapat di Indonesia adalah terbentuknya suksesi di Gunung Krakatau yang pernah meletus pada tahun 1883. Di daerah bekas letusan gunung Krakatau mula-mula muncul pioner berupa lumut kerak (liken) serta tumbuhan lumut yang tahan terhadap penyinaran matahari dan kekeringan. Tumbuhan perintis itu mulai mengadakan pelapukan pada daerah permukaan lahan, sehingga terbentuk tanah sederhana. Bila tumbuhan perintis mati maka akan mengundang datangnya pengurai. Zat yang terbentuk karma aktivitas penguraian bercampur dengan hasil pelapukan lahan membentuk tanah yang lebih kompleks susunannya. Dengan adanya tanah ini, biji yang datang dari luar daerah dapat tumbuh dengan subur. Kemudian rumput yang tahan kekeringan tumbuh. Bersamaan dengan itu tumbuhan herba pun tumbuh menggantikan tanaman pioner dengan menaunginya. Kondisi demikian tidak menjadikan pioner subur tapi sebaliknya.
Sementara itu, rumput dan belukar dengan akarnya yang kuat terns mengadakan pelapukan lahan.Bagian tumbuhan yang mati diuraikan oleh jamur sehingga keadaan tanah menjadi lebih tebal. Kemudian semak tumbuh. Tumbuhan semak menaungi rumput dan belukar maka terjadilah kompetisi. Lama kelamaan semak menjadi dominan kemudian pohon mendesak tumbuhan belukar sehingga terbentuklah hutan. Saat itulah ekosistem disebut mencapai kesetimbangan atau dikatakan ekosistem mencapai klimaks, yakni perubahan yang terjadi sangat kecil sehingga tidak banyak mengubah ekosistem itu.
(Kadi, Achmad dan Wanda S. A. 1988)
2.5.2 Suksesi Sekunder
Suksesi sekunder terjadi bila suatu komunitas mengalami gangguan, balk secara alami maupun buatan. Gangguan tersebut tidak merusak total tempat tumbuh organism sehingga dalam komunitas tersebut substrat lama dan kehidupan masih ada. Contohnya, gangguan alami misalnya banjir, gelombang taut, kebakaran, angin kencang, dan gangguan buatan seperti penebangan hutan dan pembakaran padang rumput dengan sengaja. Contoh komunitas yang menimbulkan suksesi di Indonesia antara lain tegalan-tegalan, padang alang-alang, belukar bekas ladang, dan kebun karet yang ditinggalkan tak terurus.

Berdasarkan kebiasaanhidup,organism dibedakan sebagai berikut.
a. Plankton; terdiri alas fitoplankton dan zooplankton; biasanya melayang- layang (bergerak pasif) mengikuti gerak aliran air.
b.Nekton:hewan yang aktif berenang dalam air,misalnya ikan.
c.Neuston;organisme yang mengapung atau berenang di permukaan air atau bertempat pada permukaan air, misalnya serangga air.
d.Perifiton; merupakan tumbuhan atau hewan yang melekat/bergantung pada tumbuhan atau benda lain, misalnya keong.
e.Bentos; hewan dan tumbuhan yang hidup di dasar atau hidup pada endapan. Bentos dapat sessil (melekat) atau bergerak bebas,
(Kadi, Achmad dan Wanda S. A. 1988)

2.6 Ekosistem air laut
Ekosistem air laut dibedakan atas lautan, pantai, estuari, dan terumbu karang.
2.6.1 Laut
Habitat laut (oseanik) ditandai oleh salinitas (kadar garam) yang tinggi dengan ion CI- mencapai 55% terutama di daerah laut tropik, karena suhunya tinggi dan penguapan besar. Di daerah tropik, suhu laut sekitar 25°C. Perbedaan suhu bagian atas dan bawah tinggi. Batas antara lapisan air yang panas di bagian atas dengan air yang dingin di bagian bawah disebut daerah termoklin.Di daerah dingin, suhu air laut merata sehingga air dapat bercampur, maka daerah permukaan laut tetap subur dan banyak plankton serta ikan. Gerakan air dari pantai ke tengah menyebabkan air bagian atas turun ke bawah dan sebaliknya, sehingga memungkinkan terbentuknya rantai makanan yang berlangsung balk. Habitat laut dapat dibedakan berdasarkan kedalamannya dan wilayah permukaannya secara horizontal.
(http://www.iwf.or.id/ekosistem.htm)
1. Menurut kedalamannya, ekosistem air laut dibagi sebagai berikut.
a. Litoral merupakan daerah yang berbatasan dengan darat.
b. Neretik merupakan daerah yang masih dapat ditembus cahaya matahari sampai bagian dasar dalamnya ± 300 meter.
c. Batial merupakan daerah yang dalamnya berkisar antara 200-2500 m
d. Abisal merupakan daerah yang lebih jauh dan lebih dalam dari pantai (1.500-10.000 m).
2. Menurut wilayah permukaannya secara horizontal, berturut-turut dari tepi laut semakin ke tengah, laut dibedakan sebagai berikut.
• Epipelagik merupakan daerah antara permukaan dengan kedalaman air sekitar 200m
• Mesopelagik merupakan daerah dibawah epipelagik dengan kedalam an 200 - 1000 m Hewannya misalnya ikan hiu.
• Batiopelagik merupakan daerah lereng benua dengan kedalaman 200-2.500m. Hewan yang hidup di daerah ini misalnya gurita.
• Abisalpelagik merupakan daerah dengan kedalaman mencapai 4.000m; tidak terdapat tumbuhan tetapi hewan masih ada. Sinar matahari tidak mampu menembus daerah ini.
• Hadal pelagik merupakan bagian laut terdalam (dasar). Kedalaman lebih dari 6.000 m. Di bagian ini biasanya terdapat lele laut dan ikan Taut yang dapat mengeluarkan cahaya. Sebagai produsen di tempat ini adalah bakteri yang bersimbiosis dengan karang tertentu. Di laut, hewan dan tumbuhan tingkat rendah memiliki tekanan osmosis sel yang hampir sama dengan tekanan osmosis air laut. Hewan tingkat tinggi beradaptasi dengan cara banyak minum air, pengeluaran urin sedikit, dan pengeluaran air dengan cara osmosis melalui insang. Garam yang berlebihan diekskresikan melalui insang secara aktif.
(Begen, D. G. 2002)

2.7 Ekosistem pantai
Ekosistem pantai letaknya berbatasan dengan ekosistem darat, laut, dan daerah pasang surut. Ekosistem pantai dipengaruhi oleh siklus harian pasang surut laut. Organisme yang hidup di pantai memiliki adaptasi struktural sehingga dapat melekat erat di substrat keras. Daerah paling atas pantai hanya terendam saat pasang naik tinggi. Daerah ini dihuni oleh beberapa jenis ganggang, moluska, dan remis yang menjadi konsumsi bagi kepiting dan burung pantai. Daerah tengah pantai terendam saat pasang tinggi dan pasang rendah. Daerah ini dihuni oleh ganggang, porifera, anemon laut, remis dan kerang, siput herbivora dan karnivora, kepiting, landak laut, bintang laut, dan ikan-ikan kecil. Daerah pantai terdalam terendam saat air pasang maupun surut. Daerah ini dihuni oleh beragam invertebrata dan ikan serta rumput laut. Komunitas tumbuhan berturut-turut dari daerah pasang surut ke arah darat dibedakan sebagai berikut
( I.T. Webster, P.W. 2003)

1.Formasi pescaprae
Dinamakan demikian karena yang paling banyak tumbuh di gundukan pasir adalah tumbuhan Ipomoea pes caprae yang tahan terhadap hempasan gelombang dan angin; tumbuhan ini menjalar dan berdaun tebal. Tumbuhan lainnya adalah Spinifex littorius (rumput angin), Vigna, Euphorbia atoto, dan Canaualia martina. Lebih ke arah darat lagi ditumbuhi Crinum asiaticum (bakung), Pandanus tectorius (pandan), dan Scaeuola Fruescens (babakoan)
(Nybakken. 1992)

2. Formasi baringtonia
Daerah ini didominasi tumbuhan baringtonia, termasuk di dalamnya Wedelia, Thespesia, Terminalia, Guettarda, dan Erythrina.Bila tanah di daerah pasang surut berlumpur, makakawasan ini berupa hutan bakau yang memiliki akar napas. Akar napas merupakan adaptasi tumbuhan di daerah berlumpur yang kurang oksigen. Selain berfungsi untuk mengambil oksigen, akar ini juga dapat digunakan sebagai penahan dari pasang surut gelombang. Yang termasuk tumbuhan di hutan bakau antara lain Nypa, Acathus, Rhizophora, dan Cerbera. Jika tanah pasang surut tidak terlalu basah, pohon yang sering tumbuh adalah: Heriticra, Lumnitzera, Acgicras, dan Cylocarpus.
(I.T. Webster, P.W. 2003)

3. Estuari
Estuari (muara) merupakan tempat bersatunya sungai dengan laut. Estuari sering dipagari oleh lempengan lumpur intertidal yang luas atau rawa garam. Salinitas air berubah secara bertahap mulai dari daerah air tawar ke laut. Salinitas ini juga dipengaruhi oleh siklus harian dengan pasang surut aimya. Nutrien dari sungai memperkaya estuari. Komunitas tumbuhan yang hidup di estuari antara lain rumput rawa garam, ganggang, dan fitoplankton. Komunitas hewannya antara lain berbagai cacing, kerang, kepiting, dan ikan. Bahkan ada beberapa invertebrata laut dan ikan laut yang menjadikan estuari sebagai tempat kawin atau bermigrasi untuk menuju habitat air tawar. Estuari juga merupakan tempat mencari makan bagi vertebrata semi air, yaitu unggas air.
( Begen, D. G. 2002)

4.Terumbu karang
Di laut tropis, pada daerah neritik, terdapat suatu komunitas yang khusus yang terdiri dari karang batu dan organisme-organisme lainnya. Komunitas ini disebut terumbu karang. Daerah komunitas ini masih dapat ditembus cahaya matahari sehingga fotosintesis dapat berlangsung. Terumbu karang didominasi oleh karang (koral) yang merupakan kelompok Cnidaria yang mensekresikan kalsium karbonat. Rangka dari kalsium karbonat ini bermacammacam bentuknya dan menyusun substrat tempat hidup karang lain dan ganggang. Hewan-hewan yang hidup di karang memakan organisme mikroskopis dan sisa organik lain. Berbagai invertebrata, mikro organisme, dan ikan, hidup di antara karang dan ganggang. Herbivora seperti siput, landak laut, ikan, menjadi mangsa bagi gurita, bintang laut, dan ikan karnivora.
( Begen, D. G. 2002)

2.8 Adaptasi Organisme
Kebanyakan organisme yang menempati daerah ini menunjukkan adaptasi dalam menggali dan melewati substrat yang lunak atau menempati saluran yang permanen dalam substrat. Dikarenakan pantai lumpur juga agak tandus, hal ini dapat dilihat dari sedikitnya organisme yang menempati permukaan daratan lumpur. Kehadiran organisme di pantai berlumpur ditunjukkan oleh adanya berbagai lubang di permukaan dengan ukuran dan bentuk yang berbeda. Jadi, salah satu adaptasi utama dari organisme di daratan lumpur adalah kemampuan untuk menggali substrat atau membentuk saluran yang permanen.
Adaptasi utama yang kedua berkaitan dengan kondisi anaerobik yang merata di seluruh substrat. Jika organisme ingin tetaphidup ketika terkubur dalam substrat, mereka harus beradaptasi untuk hidup dalam keadaan anaerobik atau harus membuat beberapa jalan yang dapat mengalirkan air dari permukaan yang mengandung banyak oksigen ke bawah. Untuk mendapatkan air dari permukaan yang kaya oksigen dan makanan maka muncul berbagai lubang dan saluran di permukaan daratan lumpur. Adaptasi yang umum terhadap rendahnya ketersediaan oksigen adalah dengan membentuk alat pengangkut (misalnya, hemoglobin) yang dapat terus-menerus mengangkut oksigen dengan konsertasi yang lebih baik dibandingkan dengan pigmen yang sama pada organisme lain.
(Nybakken, 1982)
2.9 Tipe Organisme
Pantai berlumpur sering menhasilkan suatu pertumbuhan yang besar dari berbagai tumbuhan. Di atas daratan lumpur yang kosong, tumbuhan yang paling berlimpah adalah diatom, yang hidup di lapisan permukaan lumpur dan biasanya menghasilkan warna kecoklatan pada permukaan lumpur pada saat terjadi pasang-turun. Tumbuhan lain termasuk makroalga, Glacilaria, Ulva, dan Enteromorpha. Pada daerah lain, khusus pada pasut terendah hidup berbagai rumput laut, seperti Zostera.
Daratan berlumpur mengandung sejumlah besar bakteri, yang memakan sejumlah besar bahan organik. Bakteri ini merupakan satu-satunya organisme yang melimpah pada lapisan anaerobikdi pantai berlumpurdan membentuk biomassa yang berarti. Bakteri ini dinamakan Bakteri Kemosintesis atau Bakteri Sulfur, bakteri ini mendapatkan energi dari hasil oksidasi beberapa senyawa sulfur yang tereduksi, seperti berbagai sulfida (misalnya, H2S). Mereka menghasilkan bahan organik dengan menggunakan energi yang didapat dari oksidasi senyawa sulfur yang tereduksi, berbeda dengan tumbuhan yang menghasilkan bahan organik menggunakan energi matahari.
Karena bakteri ototrofik ini berlokasi di lapisan anaerobik di lumpur, maka daratan lumpur merupakan daerah yang unik di lingkungan laut, mereka mempunyai dua lapisan yang berbeda di mana produktivitas primer terjadi, daerah tempat diatom, alga, dan rumput lautmelakukan fotosintesis, dan lapisan dalam tempat bakteri melakukan kemosintesis. Mahluk dominan yang terdapat pada daratan lumpur, yaitu cacing polichaeta, moluska bivalvia, dan krustacea besar dan kecil, tetapi dengan jenis yang berbeda.
(Nybakken, 1982)



BAB III
MATERI METODE

3.1 Waktu dan Tempat
Waktu : 08.00-11.00 WIB
Tempat : Teluk Awur
3.2 Alat dan Bahan :

1. Transek kuadran 1 buah
2. Kamera digital 1 buah
3. Raffia>100 m
4. Masker dan snorkel min 3 buah
5. Gayung min 1 buah
6. Ember min 1 buah
7. Botol sampel atau Plastik secukupnya
8. Sekop 1 buah
9. Ayakan 1 buah
10. Alat Tulis (pensil, kertas folio, sabak, dll)

3.3 Cara Kerja
1. Catat waktu dan kondisi cuaca (berwarna/panas, dll).
2. Mengukur dan mencatatparameter kualitas air dengan DOmeter, pHmeter, thermometer, dan refraktometer.
3. Tarik rol 100 m (raffia 100 m) tegak lurus bibir pantai. Letakkan transek berukuran 1x1 m pada titik-titik stasiun yang telah ditentukan yaitu pada titik yang dekat dengan pantai, titik pertengahan dan titik yang terjauh dari pantai.
4. Lihat panjang substratnya.
5. Amati jenis biota yang terlihat pada tiap-tiap subtransek. Hitung jumlah individu dan jumlah spesies atau familinya.
6. Ambil substrat tersebut dengan kedalaman 10 cm pada tiap-tiap subtransek.
7. Ayak subtract tersebut dengan air untuk mendapatkan biota yang hidup didalam pasir. Hitung jumlahnya.
8. Gambarlah setiap jenis biota yang ditemukan.
9. Hitunglah indeks keanekaragaman dengan rumus :
H’= ─∑(ni / N)Ln(ni / N)
Dimana : H’= Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner
N = Jumlah total individu
ni = JUmlah individu tiap spesies ke-i
H’< 1 : indeks Keanekaragaman rendah
1 ≤ H’≤ 3 : Indeks Keanekaragaman tinggi
H’> 3 : Indeks Keanekaragaman tinggi
10. Hitung indeks dominansi dengan rumus :
Dimana : C = Indeks Dominansi
n = Jumlah individu jenis ke-i
N = Jumlah seluruh individu
C < 0,5 : Dominansi rendah
0,5 ≤ C ≤ 1 : Dominansi sedang
C > 1 : Dominansi tinggi
11. Amatilah kondisi ekosistem pantai berlumpur, beserta ekosistem sekitarnya.
Buatlah gambar Zonasinya.









BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
Biota yang kami peroleh pada daerah pantai berlumpur,dapat dilihat dalam transek kuadrat sebagai berikut :

A1 A2 A3 A4
A8 A7 A6 A5
A9 A10 A11 A12
A16 A15 A14 A13

• Titik 20 m dari garis pantai
A1 : -
A2 : Seaweed (Halimeda makroloba) (2)
A3 : -
A4 : -
A5 : -
A6 : -
A7 : -
A8 : -
A9 : -
A10 : -
A11 : -
A12 : Seaweed (Halimeda makroloba ) (1), Polychaeta (1)
A13 : -
A14 : -
A15 : Gastropoda (1)
A16 : Gastropoda (1)

• Titik 60 m dari garis pantai
A1 : Lamun (Enhalus accoroides) (1)
A2 : Lamun (Enhalus accoroides) (2)
A3 : Lamun (Enhalus accoroides) (1)
A4 :
A5 : Lamun (Enhalus accoroides) (1)
A6 : Lamun (Enhalus accoroides) (1)
A7 : Lamun (Enhalus accoroides) (2)
A8 : -
A9 : -
A10 : -
A11 : -
A12 : -
A13 : -
A14 : -
A15 : -
A16 : Lamun (Enhalus accoroides) (1)
• Titik 100 m dari garis pantai
A1 : -
A2 : -
A3 : Sponge (1)
A4 : -
A5 : Sponge (1)
A6 : -
A7 : -
A8 : -
A9 : -
A10 : -
A11 : -
A12 : -
A13 : -
A14 : -
A15 : -
A16 : -

4.2. Pembahasan
Pada saat pengamatan (penyelaman) dalam dasar laut, terlihat banyak lubang-lubang di permukaan dengan bentuk dan ukuran yang berbeda-beda, hal ini disebabkan karena permukaan pantai lumpur juga agak tandus serta terlihat dari sedikitnya organisme yang menempati permukaan dataran lumpur. Kebanyakan organisme yang menempati daerah ini menunjukan adaptasi dalam menggali dan melewati substrat yang lunak atau menempati saluran yang permanen dalam substrat. Ini merupakan salah satu adaptasi utama dari organisme di dataran lumpur adalah kemampuan untuk menggali substrat atau membentuk saluran yang permanen.
Selain itu, yang menyebabkan banyak lubang-lubang di permukaan adalah adaptasi kedua yang utama, berkaitan dengan kondisi anaerobik yang merata di seluruh substrat. Jika organism ingin tetap hidup ketika terkubur dalam substrat, mereka harus beradaptasi untuk hidup dalam keadaan anaerobik, atau harus membuat beberapa jalan yang dapat mengalirkan air dari permukaan yang mengandung oksigen ke bawah. Untuk mendapat air dari permukaan yang kaya akan oksigen dan makanan maka muncul berbagai lubang dan saluran di permukaan dataran lumpur.
Meskipun hampir semua organisme dataran lumpur tidak dapat bertahan dalam kondisi anaerobik, tetapi banyak dari mereka yang dapat beradaptasi hingga dapat hidup dalam tekanan oksigen yang lebih rendah. Adaptasi yang umum terhadap rendahnya ketersediaan oksigen adalah dengan membentuk alat pengangkut yang dapat terus menerus mengangkut oksigen dengan konsentrasi yang lebih baik dibandingkan dengan pigmen yang sama pada organisme lain.
Pantai berlumpur sering menghasilkan suatu pertumbuhan yang besar dari berbagai tumbuhan. Salah satunya yakni makroalga Enhalus accoroides. Mereka mempunyai daun-daun yang panjang, tipis dan mirip pita yang mempunyai saluran-saluran air. Kelimpahan alga besar ini sering mengalami daur musiman, umum ditemukan pada musim panas dan menghilang pada musim dingin. Karenanya, terdapat berbagai produsen primer yang membentuk produktivitas primer di dataran lumpur.
Kelompok makrofauna yang dominan di daerah pantai berlumpur ini sama dengan yang terdapat di pantai berpasir, yaitu berbagai cacing polychaeta, moluska bivalve, dan crustacea besar dan kecil , tetapi dengan jenis yang berbeda.
Pantai berlumpur memiliki sejumlah bakteri, salah satunya bakteri kemosintetik yang mendapatkan energy dari hasil oksidasi beberapa senyawa sulfur yang tereduksi. Karena bakteri ototrofik ini berlokasi di lapisan anaerobik di lumpur, maka dataran lumpur merupakan daerah yang unik di lingkungan laut, mereka mempunyai dua lapisan yang berbeda dimana produktivitas primer terjadi : daerah permukaan tempat diato, alga, dan rumput laut melakukan fotosintesis, dan lapisan dalam tempat bakteri melakukan kemosintesis.
Karena banyak bahan organic yang terdapat di pantai berlumpurdan karna meningkatnya produktivitas baik dari bakteri maupun tumbuhan, maka makanan yang tersedia di pantai berlumpur lebih banyak. Tipe cara makan yang dominan di dataran lumpur adalah pemakan deposit dan pemakan bahan melayang(suspensi).
Pemakan deposit terdapat dalam jumlah yang berlimpah, diwakili oleh genus Arenicola dan Capitella. Keduanya makan dengan cara menggali substrat, mencerna dan menyerap bahan organic, dan mengeluarkan bahan yang tidak dicerna melalui anus.
Arenicola spp., menggali saluran yang berbentuk U dengan ujung yang satu tegak lurus ke permukaan dan terbuka secara permanen, sedangkan ujung yang lain berisi sedimen yang akan dicerna cacing.
Karnivora utama di pantai berlumpur biasanya ikan yang makan pada saat pasang naik dan burung yang makan pada saat pasang surut. Predator asli di dataran lumpur ini mencakup beberapa cacing polychaeta seperti Glycera spp., siput bulan (Polinices, Natica) dan kepiting. Jadi, struktur trofik dataran lumpur sering terbentuk berdasarkan dua hal, yaitu : berdasarkan detritus – bakteri dan berdasarkan tumbuhan.








































BAB V
PENUTUP

7.1. Kesimpulan
1. Pantai berlumpur tidak dapat berkembang dengan hadirnya gerakan gelombang dan dapat berkembang dengan sbaik jika ada suatu sumber partikel sedimen yang butirannya halus
2. Dalam pantai berlumpur kondisi anaerobik tersebar merata dalam sedimen dan merupakan salah satu sifat (cirri) yang penting dari pantai berlumpur.
3. Hubungan atau interaksi dan keterikatan antara biota yang ditemukan dengan ekosistem pantai berlumpur yakni,
 Biota melakukan beberapa adaptasi utama untuk bisa hidup dalam ekosistem pantai berlumpur :
o Kemampuan untuk mengali substrata tau membentuk saluran yang permanen
o Karena dalam keadaan anaerobik sehingga biota membuat lubang dan saluran dipermukaan dataran lumpur untuk mendapatkan air dari permukaan yang kaya akan oksigen dan makanan.
o Biota membentuk alat pengangkut yang dapat terus menerus mengangkut oksigen dengan konsentrasi yang lebih baik.
4. pada titik 20 m dari bibir pantai temukan lamun, dan halimeda, sponge I serta Polychaeta, sedangkan pada titik 60 m ditemukan jenis lamun dan gastropoda, dan pada titik 100 m ditemukan coral dan sponges II.
5. Hubungan antara ekosistem pantai berlumpur dengan ekosistem yang lainnya yakni :
 Dengan pantai berpasir, pantai berlumpur sering menghasilkan suatu pertumbuhan yang besar dari berbagai tumbuhan.
 Permukaan pantai berlumpur dengan pantai berpasir hampir sama yakni agak tandus.

7.2. Saran
Sebelum melakukan praktikum diharapkan semua praktikan mempelajari modul yang diebrikan asisten seingga dalam pelaksanaan praktikum akan berjalan dengan lancer sesuai dengan metode yang terdapat dalam modul.




















BAB VI
DAFTAR PUSTAKA

Begen, D. G. 2002. Ekosistem danSumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. PK-SPL. IPB, Bogor.

Chusing, D.H. 1977. Science and the Fisheris. Studies in Biologi no 85. Edward Arnold.

Hardy, A. 1965. The Open Sea: It’s Natural History. Volume 2, Fish and fisheries, Houghton Mifflin, Boston.

I.T. Webster, P.W. Ford, B. Robson, N. Margvelashvili, J. Parslow. 2003. Conceptual models of the hydrodynamics, fine sediment dynamics, biogeochemistry and primary production in the Fitzroy Estuary. Draft Final Report For Coastal CRC Project CM-2 October 2003. CSIRO Land and Water GPO Box 1666, Canberra 2601.

Johannessen, J.W., MacLennan, A., and McBride, A, 2005. Inventory and Assessment of Current and Historic Beach Feeding Sources/Erosion and Accretion Areas for the Marine Shorelines of Water Resource Inventory Areas 8 & 9, Prepared by Coastal Geologic Services, Prepared for King County Department of Natural Resources and Parks, Seattle, WA.

Kadi, Achmad dan Wanda S. A. 1988. Rumput Laut (algae): Jenis, Reproduksi,Budidaya, dan Pasca Panen. Seri Sumber Daya Alam 141. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi.

Kordmondy, E.J. 1969. Concept of ecology. Concept of Modern Biology series. Prentice-Hall, Eaglewood Clifft, N.J.

Nybakken. James W. 1982. Marine Biology : an ecological approach (terjemahan). PT. Gramedia, Jakarta.

Swedmark, B. 1964. The interstitial fauna of marine sand. Biol.

Zedler,J.B. 1980. Algal mat productivity: Comparisons in a salt marsh. Estuaries 3

http://id.wikipedia.org/wiki/rantai_makanan

http://jchkumaat.wordpress.com

http://lariajamift.wordpress.com/2007/10/04/pengamatan-transek-garis-100meter-pulau-pari-bagian-selatan/

http://www.iwf.or.id/ekosistem.htm

  • Share:

You Might Also Like

0 comments