Perubahan Strategi 01 Dari Politik Identitas ke Politik Kemajemukan (Asumsi)

By Agus Nurul K - 1:38 PM

Tulisan ini bermula ketika Aa Gym mentweet dengan sebuah gambar berikut:

Menurut saya foto tersebut menunjukan bahwa di 02 pendukungnya majemuk terdiri dari berbagai agama, suku, dan ras. Serta membuktikan bahwa stigma politik identitas untuk Prabowo terbantahkan.

Memang politik identitas ini pertama muncul ke permukaan saat Ahok yang dulunya diusung Prabowo dan Megawai bersitegang dengan partai-partai pendukungnya. Sampai ada wacana pada periode kedua di DKI Ahok akan mencalonkan lagi sebagai gubernur melalui jalur independen.

Selain bersitegang dengan partai pengsusung, terutama Gerindra, tiba-tiba Ahok berbicara yang sangat kontroversial sampai masuk pengadilan dan dihukum terbukti menistakan agama.

Kasus Ahok ini bermula dari potongan video kunjungan Ahok yang disebar Buni Yani. Akibatnya sebagian tokoh agama dan sebagian umat islam mengecam perkataan Ahox ini dan berupaya agar Ahok tidak menang dalam Pilgub DKI.

Gayung pun bersambut dari partai oposisi di tingkat nasional. Berdasarkan lobi-lobi partai politik dihasilkan lah dua penantang Ahok (tiga pasangan Cagub-Cawagub) pada Pilkada DKI.

Bagi petahana maupun oposisi, Pilkada DKI Jakarta adalah etalse Indonesia. Kalau memang di DKI bisa mudah untuk memenangkan perhelatan di tingkat nasional.

Partai oposisi yang dimotori Gerindra seakan memiliki visi yang sama dengan sebagian tokon dan umat islam. Satu sisi pergerakan umat islam mengecam dan menuntut hukum atas perkataan Ahox. Sisi lain mesin partai oposisi juga bergerak dengan narasi perbaikan ketimpangan ekonomi dan keberpihakan pembagunan DKI.

Memang pada masa Ahok berbagai gebrakan besar dilakukan terutama pada birokrasi dan pembangunan infrasuktur. Namun karakter Ahok yang keras (cenderung terkesan arogan) membuat sebagian masyarakat kecewa, apalagi dengan adanya perkataan ahok yang "meninstakan agama".


Berjalannya masa kampanye sampai hari pemungutan suara, akhirnya Ahox sebagai petahana kalah. Kekalahan Ahok ini menjadi tamparan berat bagi petahana di tingkat nasional. Bagaimana tidak, berbagai survey sampai mejelang pencoblosan selalu meyakinkan bahwa elektabilits Ahox masih di atas dua penentangnya Ahok akan menang. Tetapi kenyataannya Ahox kalah dari suara 58% Anis-Sandi.

Politik identitas ini kepalang muncul kepermukaan, polarisasinya sampai ke tingat nasional. Jokowi sebagai petahana langsung terkena polarisasi ini dengan stigma Jokowi anti islam. Yang tentu sampai saat ini tidak ada sumber langsung yg mengatakan itu, dari oposisi sekalipun.

Bahkan polarisasi politik identitas ini menyebar menyebar juga ke pilkada lainnya. Sehingga tidak heran beberapa cagub-cawagub yang di dukung partai oposisi sebagain besar hasilnya mengejutkan, bahkan ada yang menang.

Melihat hasil Pilkada DKI 2017 dan Pilkada serentak 2018 tentu merupakan pukulan sekaligus peringatan bagi Petahana. Di sinilah strategi politik nasional mulai terlihat.

Syarat yang kepalang tinggi pada pencalonan Capres-Cawapres minimal diusung oleh 20% suara partai atau 25% suara nasional. Mau tidak mau mengadapkan kembali pertarungan Jokowi (Petahana) dengan Prabowo (Oposisi)

Berbagai manuver banyak dilakukan terutama dari pihak oposisi. Petahana sepertinya tarik-ulir melihat strategi dari penantangnya.

Sepertinya, petahana meyakini bahwa oposisi akan memanfaatkan polarisi politik identitas ini akan dibawa di tingkat nasional. Untuk menjawab stategi oposisi, petahana sempet memuncul inisial M nama cawapresnya. Publik menduga adalah Muldoko, Prof. Mahfud, dan Muhaminin iskandar.

Pada saat itu ada Ijtima ulaman yang dimotori HRS mendukung Pencalonan Prabowo dengan menyodorkan cawapres UAS dan Habib Salim Segaf.

Waktu itu prediski saya, karena Prabowo sedang dekat dengan sebagain umat muslim (dan merupakan salahbsaru kekuatannya, seperti di DKI). Kemungkinan Prabowo akan menggandeng UAS sebagai Cawapresnya.

Petahanapun, Sepertiny merespon kemungkinan ini. Berkaca pada hasil pilkada DKI, lobi-lobi dari partai petahanan ahirnya dengan gerak cepat mengumumkan, dan banyak yg tidak percaya cawapres petahana adlh KH. Ma'aruf Amin. Tidak tanggung-tanggung untuk menjawab kemungkinan UAS Perahana mengandeng ketua MUI.

Padahal paginya santer bahwa Prof. Mahfud sudah digadang-gadang akan menjadi cawapres petahana. Hal ini pun sepertinya yang menjadikan Prabowo sama sama menunggu pasangan dari Petahana, sepertinya karena berkeyakinan bahwa cawapres petahana adalah Prof. Mahfud maka Prabowo coba melobi hasil Ijtima ulama dengan diganti oleh Anis.

Ternyata sampai sore penantangpun belum mengumumpan Cawapresnya. Mungkin karena sama tidak percaya bahwa yang menajadi Cawpresnya Ma'aruf Amin. Akhirnya lobi-lobi dan perhitungan strategi oposisi cawapres penantang adalah Sandiaga Uno. Sama seperti penunjukan Yai, penunjukan Sandi juga menghentak bagi sebagi sebagian orang.

Pada strategi penentuan cawapres ini saya melihat tarik-ulur penentuan Cawapres dimenangkan oleh Oposisi. Sebab dengan pemilihan Sandi, arah narsasi dan kampanye oposisi akan berubah total. Sehingga petahana sepertinya telah terjebak dalam siasat politik identitas.

Prediksi saya saat itu ternyata betul, berjalannya masa kampanye terlihat penunjukan Ma'aruf Amin (Yai) oleh 01 sebagai stategi penangkal stigma Jokowi anti islam dan berusaja merangkul sebagian pemilih umat muslim terutuama dari kalangan Nahdiyin. Sementara 02 bermodalkan pilada DKI dan pilkada serentak 2018, stategi kamapenye bukan tentang politik identitas, tetapi mulai menyanpaikan terkait kondisi Sosial, ekonomi, dan hukum, dan tentu gagasan2 milenial melalui Sandi.

Sampai ahir maret narasi dari kampanye 01 masih terlihat berusaha, dan terkesan berlebihan untuk merangkul pemilih muslim. Ternyata stategi ini, belum membuahkan hasil. banyak hasil survey elektabilitas petahana stagnan dan cenderung turun.

Sementara 02, selain bermodalkan kemenangan Pilkada DKI juga lebh getol  narasi yang disampaikan terkait Sosial, Ekonimi, dan hukum, ditambah dengan berkelilingnya sandi ke darah elektabilitas 02 ini cenderung naik. Terakhur survey kompas yang membuat semua orang monohok. Terutama untuk petahana.

Sepertinya melihat kondisi elektabikitas petahana yang stagnan dan oposisi cenderung naik, TKN merubah strategi kampanye. Sebelas hari menjelang pemilihan, tepatnya kampanye di Tangerang 01 membuat konsep karnaval. Padahal narasi Jokowi sebelumnya di Jogja lantang keras menyampaikan akan melawan bebagai macam tuduhan kepadanya (yang sebetulnya belum terbutki sumbernya dari mana), namun sekarang kanpanye 01 lebih smooth, tidak lagi agresif merangkul pemilih muslim namin muali menyanpaikan gagasan mendasar seperti demokrasi harus gembira, tidak ada ancam mengancam,dll.

Lalau kenapa ada perubaha strategi dari 01?
Menurut saya ini selain disebabkan oleh elektabilitas yg mandek. Juga TKN sadar, ketika terlalu merapat ke umat muslim ada pemilih lain yang merasa tidak dirangkul. Terutama pada pendukung Ahok dulu, yang sejak pemilihan Yai banyak yang tidak setuju dan berpotensi menambah semakin banyak yang golput.

Maka bisa dilihat sekarang, justru kemajemukan malah banyak di 02 sementara 01 banyak ditinggal oleh pendukunya. karena 01 dalam kampanyenya terlalu berusaha merangkul suara umat muslim, lupa pada kemajemukan pemilih Indonesia (pendukung petahan).

Kesimpulannya: 
Petahana/ 01 telah terjebak dengan narasi bahkan mungkin isu politik identitas, sehingga pemilihan Yai serta upaya merangkul umat muslim melalui Nahdiyin nyatanya belum bisa mengamankan elektabilitas petahana.

Bagi Oposisi / 02 selain pemilihan Sandi (pengusaha, milenial, enerjik) juga narasi yang disampaikan terkait kondisi sosial, ekonomi, dan hukum sekarang ini berhasil meyakinkan sebagian pemilih swing voter (pendukung Jokowi di 2014).

ANK, 8 April 2019 

  • Share:

You Might Also Like

0 comments